KARAKTER TOKOH TRIPAMA
SEBAGAI
PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER BAGI MAHASISWA
Disusun oleh:
Catur Nugroho
|
INSTITUT SENI INDONESIA
SURAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Seni
pedalangan khususnya wayang kulit purwa merupakan sebuah seni yang kompleks,
artinya dalam pertunjukannya terdapat berbagai hal penting yang terkandung baik
itu nampak secara nyata atau hanya tersirat saja dalam sajian perjalanan cerita
wayang tersebut. Beberapa hal penting atau unsur wigati yang terdapat dalam pertunjukan wayang baik itu cerita,
tokoh, karakter maupun struktur dramatik alur lakon, secara hakiki bagi yang
menyadari semuanya berorientasi terhadap pesan-pesan moral yang ingin
disampaikan dalang kepada penonton atau penghayatnya.
Ajaran
moral yang terkandung dalam pertunjukan wayang memang mencakup banyak hal yang
berkaitan dengan kehidupan manusia, seperti kita ketahui bahwa pertunjukan
wayang merupakan refleksi dari kehidupan manusia. Sehingga, antara makna dan
pesan dalam pertunjukan wayang dengan kehidupan manusia secara disadari atau
tidak memang saling mempengaruhi. Nilai-nilai yang terkandung dalam pertunjukan
wayang diantaranya, ialah: (a)nilai kepahlawanan, (b)nilai sosial, (c)nilai
kesetiaan dan masih banyak lagi.
Berbagai
nilai-nilai moral kemanusian dan sosial memang cukup inti dalam pertunjukan
wayang, hingga makna atau pesan dalam pertunjukan wayang masih begitu
ditekankan atau diutamakan, sehingga pertunjukan wayang sering disebut sebagai tuntunan. Akan tetapi, seiring
perkembangan jaman yang kian mengglobal dan sangat erat bersentuhan dengan
kehidupan manusia berikut budayanya, disatu sisi memang memacu loncatan drastis
pada arah kemajuan tapi disisi lain justru memundurkan sesuatu hal yang
dianggap kurang up to date atau
dianggap sebagai hal yang kuno, dalam hal ini adalah kebudayaan tradisi
termasuk pertunjukan wayang. Hal ini, memang tidak bisa diartikan dari
paradigma sebelah mata saja karena keduanya antara tradisi dan pengaruh global
memang sebuah fenomena yang secara nyata terjadi dan harus dihadapi, sehingga
dewasa ini banyak pertunjukan wayang yang hanya lebih menampilkan pada sisi
hiburan saja, sebab manusia sekarng lebih menyukai hal-hal yang instan dan
mudah dimengerti, dengan kata lain sekarang sering disebut wayang sebagai tontonan. Laeyendecker memaparkan, bahwa
pertama, masyarakat pada hakekatnya adalah stabil, tetapi secara ajek muncul
faktor pengganggu yang menyebabkan perubahan; kedua, masyarakat pada hakekatnya
berubah namun karena bergabungnya berbagai faktor maka masyarakat tersebut
kadang-kadang stabil untuk waktu yang lama; ketiga, antara stabilitas dan
perubahan merupakan dua sisi yang sama. Ini artinya bahwa menimbulkan perubahan
sama sukarnya dengan membendung perubahan(1983:54). Justru permasalahannya
adalah bagaimana kita, atau lebih penulis tekankan bagaimana seorang mahasiswa menyikapi
fenomena ini?, jawaban ada ditangan kita sebagai seorang mahasiswa.
Berdasarkan
pandangan subyektivitas penulis mahasiswa adalah sosok yang sangat berpengaruh
bagi maju dan mundurnya sebuh negara secara umum, dan secara khusus kebudayaan
tradisi diantaranya adalah pertunjukan wayang. Sebab, mahasiswa adalah generasi
muda yang nantinya akan memimpin dan membawa bangsa ini kearah kemajuan
tentunya. Sebagai contoh, seorang mahasiswa pedalangan ketika masih menjalani
studi atau setelah selesai studi pada dasarnya memiliki peran yang cukup
penting untuk kelestarian dan perkembangan wayang. Sehingga beban yang dipikul
oleh seorang mahasiswa memang sangat berat, namun akhir-akhir ini berdasarkan
pengamatan penulis mengenai realita kehidupan mahasiswa memang sedikit banyak
terdapat hal-hal yang cukup memprihatinkan. Dewasa ini banyak mahasiswa yang
sering bertindak anarkis, emosi yang tak terkendali dan sering melakukan
hal-hal yang merusak tatanan, seperti: mabuk, narkoba dan sebagainya. Kejadian
tersebut, hampir setiap hari menghiasi mata kaita ketika melihat siaran berita
pada sebuah stasiun televisi. Disamping itu, sebagian mahasiswa atau generasi
muda saat ini terlalu mudah atau kurang selektif dalam menerima kebudayaan
barat, yang mungkin kurang sesuai dengan kebudayaan tradisi, sehingga
kebudayaan tradisi harus tersisih secara perlahan.
Fenomena
tersebut memang bukan menjadi topik yang baru, artinya dari dulu permasalahan
mengenai kenakalan mahasiswa sudah menjadi hal yang biasa, hanya intensitasnya
saja yang membedakan bah dewasa ini menurut pandangan penulis lebih meningkat
intensitasnya, sehingga hal ini cukup mengkhawatirkan tentunya bagi kita semua.
Fenomena tersebut, sekilas memang kurang menyambung dengan konteks pedalangan,
namun jika kita benar-benar mau meresapi, memahami dan merenunginya ternyata
semua kejadian tersebut memiliki benang merah dengan dunia pedalangan. Dewasa
ini, dengan semakin maraknya pergaulan bebas dan budaya asing dalam kalangan
mahasiswa yang kurang pas dengan kebudayaan kita, ternyata juga berimbas
terhadap dunia pedalangan. Hal ini, nampak jelas ketika mahasiswa dewasa ini
yang lebih menganggap kebudayaan barat adalah sesuatu yang modern dan patut
dilakukan, dan kebudayaan tradisi yang didalamnya terdapat pertunjukan wayang
dianggap kuno dan malu untuk dilakukan, ini nampak bahwa kebanyakan anak muda
dewasa ini menurut pandangan penulis kurang begitu antusias terhadap
pertunjukan wayang.
Dewasa
ini, mulai ngetren dengan istilah
pendidikan karakter, artinya dari semua fenomena diatas banyak yang beranggapan
permasalahan dasar pada mahasiswa atau generasi bangsa bersumbu pada karakter
seseorang. Hipotesa penulis, lemahnya karakter yang dimiliki seseorang akan
sangat mempengaruhi terhadap sikap dan perilaku untuk bertindak. Pendidikan
karakter itu sendiri yang sekarang mulai ditekankan oleh pemerintah terdiri dari
empat pilar penting yang seharusnya dijadikan sebagai sebuah pegangan, yaitu:
(1)Undang-Undang Dasar 1945, (2)Pancasila, (3)Bhineka Tunggal Ika dan (4)NKRI. Sehingga,
dari fenomena ini akan penulis hadapkan serta kolerasikan dengan dunia
pewayangan, karena nilai yang terkandung dalam pertunjukan wayang sementara ini
masih sangat relevan untuk dijadikan sebuah perspektif pada pendidikan karakter
mahasiswa, dengan harapan mampu membantu memperbaiki karakter mahasiswa atau
generasi muda menjadi lebih baik. Sebab, seperti kita ketahui bahwa dalam
pertunjukan wayang terkandung ajaran-ajaran moral yang sangat adi luhung sehingga apabila kita
benar-benar meresapi dan melaksanakannya tentu akan memiliki manfaat yang besar
dalam kehidupan ini.
Nilai
yang terkandung dalam pertunjukan wayang terdapat dalam berbagai aspek,
diantaranya dalam tokoh wayang, alur cerita dan pengkarakteran tokoh. Sesuai
dengan tema ini penulis akan mengangkat mengenai tokoh wayang yang disebut
dengan istilah Tripama, istilah ini
yang mencipkan adalah KGPAA Mangkoenegara IV yang tertulis dalam Serat Tripama dan KGPAA Mangkoenegara IV
adalah pengarang dari buku tersebut. Tripama
merupakan bahasa jawa yang berarti, Tri
adalah tiga dan pama ialah
perumpamaan yang artinya tiga tokoh baik yang menjadi sebuah perumpamaan atau
contoh karakter yang memiliki nilai bijaksana tinggi untuk ditiru atau dicontoh.
Tripama
itu
terdiri dari tiga tokoh wayang, yaitu: (1)Sumantri, (2)Kumbakarna dan
(3)Basukarna. Ketiga tokoh tersebut menurut KGPAA Mangkoenegara IV adalah tokoh
yang memiliki jiwa atau karakter yang sangat bagus, sehingga patut untuk
dicontoh dan ditiru bagi kita khususnya generasi muda atau mahasiswa. Sehingga,
jiwa yang dimiliki oleh tokoh Tripama tersebut
mampu dijadikan sebuah perspektif pendidikan karakter. Perspektif itu sendiri
merupakan sebuah pandangan, artinya tulisan ini berisi penggambaran tokoh Tripama yang seyogyanya mampu dijadikan
sebuah pandangan dan tauladan yang baik bagi kita semua khususnya mahasiswa.
B.
Perumusan
masalah
Pembahasan
ini agar terarah maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana
penjelasan mengenai karakter tokoh Tripama?
2. Bagaimana
tokoh Tripama sebagai perspektif
pendidikan karakter bagi mahasiswa?
Rumusan permasalahan tersebut akan
dibahas secara jelas, serta akan menambahkan beberapa hal lainnya yang terkait
maupun memiliki kolerasi terhadap topik pembahasan tulisan ini.
C.
Tujuan
penulisan
Pembahasan dalam
makalah ini memiliki beberapa tujuan
yang ingin dicapai, tujuan ini penulis bagi dalam dua hal, yaitu:
a. Tujuan
umum
1. Memperoleh
gambaran yang jelas mengenai penjelasan serta penggambaran karakter tokoh Tripama.
2. Mengetahui
tentang karakter tokoh Tripama apabila
diaplikasikan sebagai sebuah perspektif pendidikan karakter bagi mahasiswa.
b. Tujuan
Khusus
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir semester mata kuliah Seminar
Pedalangan II.
D.
Manfaat
penulisan
Kontribusi
dari penulisan ini adalah menambah perbendaharaan kajian mengenai pertunjukan
wayang dalam pengaplikasiannya terhadap lingkungan sosial, termasuk dalam hal
ini adalah mampu memperoleh penjelasan mengenai karakter tokoh Tripama dan mampu mengapresiasi bagi
pembaca maupun khalayak luas, bahwa dalam pertunjukan wayang terkandung makna
yang berharga bagi kehidupan manusia. Sehingga,
dari tulisan ini pembaca khususnya bagi mahasiswa mampu mengaplikasikan karater
tokoh Tripama dalam pendidikan
karakternya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Tokoh Tripama
Tokoh
Tripama merupakan sebuah istilah yang
diciptakan oleh KGPAA Mangkoenegara IV dalam bukunya yang berjudul Serat Tripama, namun pada kesempatan ini
penulis tidak menemukan buku asli dari Serat
Tripama tersebut dan hanya mengacu pada buku yang ditedhak dan kababar oleh
Ki. Tentrem Warsena. Tokoh Tripama
terdiri dari tiga tokoh wayang yaitu Sumantri, Kumbakarna dan Basukarna, sesuai
dengan istilah Tripama yaitu Tri adalah tiga dan pama adalah perumpamaan baik yang sepatutnya dijadikan tauladan.
Ketiga karakter tokoh tersebut dalam Serat
Tripama disampaikan dalam bentuk tembang macapat yaitu Dandanggula. Pembahasan
tokoh Tripama akan penulis bahas satu
per satu dari ketiga tokoh tersebut, penjelasannya sebagai berikut:
a.
Tokoh
Sumantri
Suwanda
atau Sumantri adalah tokoh dalam cerita Ramayana, Sumantri merupakan anak Begawan
Suwandagni dari pertapan Jatisrana. Sumantri memiliki adik yang bernama
Sukrasana, keduanya saling mencintai dan menyayangi meskipun Sukrasana berwujud
raseksa atau buta bajang dan Sumantri
berparas tampan namun Sumantri tetap tulus mengasihi Sukrasana. Sumantri sejak
kecil sudah mendapatkan berbagai ilmu wigati
dari ayahnya Begawan Suwandagni, hingga setelah dewasa Sumantri memiliki
tekad untuk mengabdi kepada Prabu Harjuna Sasrabahu. Perjalanan Sumantri ketika
akan mengabdi dengan Prabu Harjuna Sasrabahu inilah yang menurut KGPAA
Mangkoenegara IV merupakan karakter tokoh wayang yang patut untuk dijadikan
suri tauladan, sehingga oleh KGPAA Mangkoenegara IV ditulislah ini kedalam Serat Tripama pupuh Dandanggula, sebagai
berikut:
Yogyanira
kang para prajurit,
Lamun
bisa sira hanulada,
Duk
ing nguni caritane,
Andelira
sang parbu,
Sasrabahu
ing Mahespati,
Aran
Patih Suwanda,
Lelabuhanipun,
Kang
ginelung tri pakara,
Guna
kaya purune kang den
antebi,
Nuhoni
trah utama.
Lire
lelabuhan tri prakawis,
Guna: bisa saneskareng karsa,
Binudi
dadya unggule,
Kaya: sayektinipun,
Duk
mbantu prang Manggada Nagri,
Hamboyong
putri dhomas,
Katur
ratunipun,
Purune sampun tetela,
Aprang
tandhing lan ditya Ngalengka Aji,
Suwanda
mati ngrana.
Tembang
diatas secara garis besar berisi tentang karakter dan tekad yang dimiliki
Sumantri ketika akan mengabdi dengan Prabu Harjuna Sasrabahu, penulis menggaris
bawahi kata atau cakepan dalam
tembang tersebut yang juga ditekankan oleh KGPA Mangkoenegara IV yaitu kata Guna, kaya dan purun.
Guna
memiliki arti bahwa Sumantri memiliki karakter yang penuh tanggung jawab dan mampu
melaksanakan tugas dengan lancar, mampu membuat solusi terhadap permasalahan
yang sedang dihadapinya atau permasalahan pada bangsanya. Hal ini, nampak
ketika Sumantri diutus Prabu Harjuna Sasrabahu untuk memboyong Dewi Citrawati
dari Magada, akhirnya Sumantri mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik.
Kaya
atau dalam bahasa Indonesia berarti kekayaan, memiliki arti bahwa Sumantri memiliki
kaya yang cukup baik secara jasmani
maupun rohani. Secara jasmani Sumantri kaya akan kemampuan olah batin, kaya
akan rohani selain pandai dalam ilmu perang juga nampak ketika Sumantri mampu membedhah Manggada kemudian memperoleh putri dhomas dan raja brana semua diserahkan pada Prabu Harjuna Sasrabahu, jelas ini
menggambarkan karakter Sumantri yang ikhlas menyerahkan semua kekayaan yang
dimilikinya pada Prabu Harjuna Sasrabahu sebagai Raja yang sangat Sumantri
hormati.
Purun
dalam bahasa Indonesia berarti mau atau bersedia, artinya Sumantri memiliki
karakter yang ikhlas dan tulus dalam melaksanakan semua tanggung jawabnya.
Kesanggupan yang tulus dari dalam hati Sumantri inilah yang patut kita contoh
sebagai sebuah karakter yang mulia.
Ketiga
inti dari karakter yang dimiliki Sumantri tersebut apabila disimpulkan, artinya
Sumantri adalah tokoh yang memiliki karakter setia atau mengandung nilai
kesetiaan. Hal ini, sangat nampak dalam jiwa Sumantri ketika dia baru mengabdi
pada Harjuna Sasrabahu dan akhirnya harus gugur oleh Rahwana semua dilakukan
atas dasar kesetiaannya kepada Harjuna Sasrabahu.
b. Tokoh Kumbakarna
Tokoh
Kumbakarna juga masuk dalam salah satu tokoh Tripama, artinya menurut KGPA Mangkoenegara IV terdapat karakter
baik dalam diri Kumbakarna yang juga patut untuk dijadikan cantoh. Kumbakarna
adalah tokoh wayang yang terdapat dalam serat Ramayana, Kumbakarna merupakan
adik dari Rahwana raja Alengka, Kumbakarna juga memiliki adik yang bernama
Gunawan dan Sarpakenaka. Mengenai jiwa Kumbakarna berdasarkan asumsi KGPA
Mangkoenegara IV disuratkan dalam Serat
Tripama pupuh Dandanggula sebagai berikut:
Wonten malih tuladhan prayogi,
Satriya gung nagri ing Ngalengka,
Sang Kumbokarna arane,
Tur iku warna diyu,
Suprandene nggayuh utami,
Duk wiwit prang Ngalengka,
Denya darbe atur,
Mring raka mrig raharja,
Dasamuka tan kengguh ing atur yekti,
De mung mungsuh wanara.
Kumbakarna kinen mangsah jurit,
Mring kang raka sira tan nglenggana,
Nglungguhi kasatriyane,
Ing tekad datan sujud,
Amung cipta labuh Nagari,
Lan nolih yayah rena,
Myang leluhuripun,
Wus mukti aneng Alengka,
Mangke arsa rinusak ing bala kapi,
Punagi mati ngrana.
Tembang
Dandanggula diatas secara garis besar memiliki arti bahwa Kumbakarna adalah
tokoh yang memiliki karakter atau jiwa kesatriya (jw: jiwa utama). Hal ini nampak, ketika Kumbakarna selalu berusaha
menasihati Rahwana agar mengembalikan Sinta kepada Rama, sebab Sinta adalah
milik Rama. Apabila, Rahwana tetap ingin memiliki Sinta dengan cara yang
demikian maka bagaimannapun juga Rahwana berada dalam posisi yang salah, dalam
bahasa jawa ada istilah yang menyebutkan: “sapa
sing dhisiki cidra, wahyune bakal sirna”. Akan tetapi, Rahwana sama sekali
tidak menggubris perkataan Kumbakarna, hingga akhirnya Kumbakarna pergi dari
Alengka dan melakukan Tapa Nendra untuk
mendapatkan petunjuk dari sang Ilahi.
Perang
akhirnya terjadi antara Alengka dengan bala kera prajurit dari Prabu Rama,
setelah prajurit Alengkka sudah terosak-asik oleh pasukan prabu Rama, lalu
Rahwana menyuruh Indrajid anaknya agar membangunkan Kumbakarna bahwa perang
sudah terjadi dan menyuruh Kumbakarna untuk berperang, sebab jika Kumbakarna
tak mau perang maka tak lama lagi Alengka akan dihancurkan oleh Rama dan
prajuritnya. Pada awalnya, Kumbakarna tetap menolak untuk berperang melawan
Prabu Rama, namun karena Kumbakarna memiliki jiwa kesatriya dan nasionalisme
yang tinnggi akhirnya Kumbakarna maju perang menghadapi bala kera. Perlu
diingat, bahwa Kumbakarna ketika berperang ini sama sekali bukan membantu
Rahwana yang jelas-jelas berada dipihak yang salah melainkan membela bangsanya
atau tanah kelahirannya beserta leluhurnya yang telah membesarkan Kumbokarna
dan mendirikan bangsa Alengka.
Penjelasan
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Kumbakarna memiliki karakter yang
tanggung jawab, rela berkorban dan mengedepankan jiwa nasionalismenya.
Sehingga, kisah mengenai tokoh Kumbakarna ini mengandung nilai kepahlawanan dan
patriotisme yang sangat baik untuk ditiru bagi kita khususnya mahasiwa sebagai
generasi muda penerus bangsa.
c. Tokoh Basukarna(Suryaputra)
Tokoh
basukarna atau ketika masih muda bernama Suryaputra merupakan tokoh yang juga
termasuk dari tokoh Tripama menurut
KGPA Mangkoenegara IV, tokoh Basukarna adalah anak dari Dewi Kunthi dengan
Batara Surya. Akan tetapi, karena Basukarna adalah anak yang tercipta diluar
ikatan resmi maka akhirnya Basukarna dibuang ke sungai hingga akhirnya
ditemukan oleh kusir dari Astina bernama Adirata yang kemudian membesarkan
Suryaputra hingga dewasa dan menjadi Senopati di Astina. Berikut tembang
dandanggula yang berisi mengenai Basukarna:
Wonten malih kinarya palupi,
Suryaputra Narpati Ngawangga,
Lan pandhwa tur kadange,
Len yayah tunggil ibu,
Suwita mring Kurupati,
Aneng Nagri Ngastina,
Kinarya gul-agul,
Manggala golongganing prang,
Bratayuda ingadeken senapati,
Ngalaga ing kurawa.
Den mungsuhken kadange pribadi,
Aprang tandhing lan Sang Dananjaya,
Sri Karna suka manahe,
De nggonira pikantuk,
Marga denya arsa males sih,
Ira sang Duryudana,
Marmanta kalangkung,
Denya ngetog kasudiran,
Aprang rame Karna mati jinemparing,
Sumbaga wirutama.
Berdasarkan
tembang macapat tersebut pada intinya berisi tentang tokoh Suryaputra yang juga
patut untuk dijadikan contoh bagi kita, hal demikian dapat kita lihat dari
pengorbanan Basukarna terhadap Duryudana dan negara Astina yang talah
memuliakan hidupnya. Pengorbanan yang dilakukan Basukarna adalah ketika dia
tetap maju perang Baratayuda dipihak Kurawa dan harus melawan Pandawa yang
jelas-jelas Karna mengetahui bahwa Pandawa masih saudaranya sendiri, sama-sama
anak dari Dewi Kunthi. Namun, semua tentunya dilakukan Basukarna dengan penuh
pertimbangan, Basukarna lebih memilih dipihak Kurawa daripada Pandhawa karena
menurut Basukarna Kurawa adalah sosok yang menerima Basukarna apa adanya hingga
akhirnya mengangkat Karna mejadi Senapati.
Sikap
yang diambil oleh Basukarna ini menggambarkan bahwa Basukarna adalah tokoh yang
memiliki karakter tanggung jawab, jiwa striya dan tidak melupakan jasa atau
kebaikan orang lain. Hal ini, nampak jelas bahwa pembelaan Karna dipihak Kurawa
karena disatu sisi selain membela tanah yang telah membesarkannya, Karna juga
merasa berhutang budi pada Duryudana yang telah menerima Karna apa adanya
hingga akhirnya Karna mampu hidup makmur di Astina dan menjadi Senapati dipihak
Kurawa, sehingga Karna memiliki tanggung jawab harus membalas budi semua
kebaikan yang telah diberikan Duryudana kepadanya. Nilai yang terkandung adalah
nilai Kepahlawanan dan kesetiaan.
2. Tokoh Tripama sebagai perspektif
pendidikan karakter bagi mahasiswa
Berdasarkan
penjelasan diatas dapat kita ketahui mengenai karakter tokoh Tripama yang pada
dasarnya ketiga tokoh tersebut memiliki karakter yang sangat mulia, artinya
sangat pantas untuk dijadikan suri tauladan. Nilai yang dapat diambil
diantaranya: nilai kepahlawanan, nilai kesetiaan, nasionalisme, pengorbanan dan
jiwa kesatriya yangg selalu diutamakan. Nilai-nilai inilah yang menurut penulis
sangat relavan apabila dikolerasikan sebagai perspektif pendidikan karakter
bagi mahasiswa dewasa ini khususnya, sebab seperti di awal tadi penulis
menerangkan bahwa peranan mahasiswa atau generasi muda sangat berpengaruh besar
bagi kemajuan atau kemundurun suatu bangsa.
Pendidikan
karakter secara garis besar teridi dari empat pilar, yaitu: UUD 1945, Bhineka
Tunggal Ika, Pancasila dan NKRI. Keempat pilar tersebut pada hakikatnya adalah
sebuah pedoman atau idealisme yang seharusnya memang menjadi sebuah impian yang
sangat perlu dilakukan tindakan secara nyata. Pendidikan karakter yang terdiri
dari empat pilar utama tersebut berdasarkan asumsi penulis seorang mahasiswa
perlu mencontoh dan menjadikan karakter-karakter tokoh Tripama sebagai sebuah
perspektif pendidikan karakter.
Tokoh
Sumantri, adalah tokoh yang memiliki karakter percaya diri, tanggung jawab,
pemberani, jiwa kesatriya yang tinggi dan rela berkorban. Karakter tokoh
Sumantri inilah yang hendaknya mampu ditiru oleh mahasiswa dewasa ini,
berkaitan dengan pendidikan karakter hendaknya seorang mahasiswa harus memiliki
karakter tanggung jawab, artinya tanggung jawab terhadap tugas yang dimilikinya
dan menjalankannya dengan benar, pemberani artinya mahasiswa harus selalu
berani seperti Sumantri dalam menghadapi segala rintangan maupun halagan yang
dihadapinya dan mampu memberikan sebuah solusi, sehingga keberadaan mahasiswa
benar-benar mampu menjadi penerang bagi masyarakat. Seorang mahasiswa juga
harus memiliki karakter rela berkorban, rela berkorban ini tentunya dapat
dihubungkan dengan empat pilar utama tadi yaitu pilar mengenai NKRI, seorang
mahasiswa harus rela berkorban untuk menjaga keutuhan NKRI entah itu dalam wujud
apapun. Sumantri yang selalu menjujunjung tinggi kesetiaan terhadap Rajanya
juga dapat kita contoh dengan selalu bertindak sesuai dengan aturan-aturan yang
telah ada.
Berikutnya
adalah tokoh Kumbakarna yang sepantasnya juga kita jadikan contoh, sebab tokoh
Kumbakarna adalah tokoh yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi. Hendaknya
karakter seperti ini selalu tertanam dalam diri mahasiswa, rasa nasionalisme
dapat diwujudkan dengan selalu menjaga perdamainan, menjunjung tinggi idealisme
bangsa seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Sebab, akhir-akhir ini
nasionalisme mulai kurang diperhatikan sehingga ini menjadi tanggung jawab
besar bagi mahasiswa. Wujud nyata nasionalisme juga dapat dilakukan dengan turut
mendukung serta mencintai aset-aset bangsa termasuk kebudayaan tradisi yang
didalamnya terdapat pertunjukan wayang. Rasa Nasionalisme juga harus selalu
dimiliki mahasiswa seni khususnya mahasiswa pedalangan yang selalu mencintai
pertunjukan wayang dan menjadi tokoh pelestari budaya seni pewayangan, sehingga
seni pertunjukan wayang tidak akan tergeser dengan derasnya budaya barat yag
kurang sesuai dengan kebudayaan kita. Tokoh Kumbakarna memiliki pedoman bahwa “daripada
harus menyerah ditangan penjajah, lebih baik mati menjadi kusuma bangsa”, dari
pernyataan ini tentunya kita mampu mengambil nilai nasionalisme dalam diri Kumbakarna
untuk kita aplikasikan sebagai mahasiswa khususnya mahasiswa seni(pedalangan)
agar selalu berjuang secara sungguh-sungguh menjaga keutuhan serta melestarikan
kebudayaan tradisi yang didalamnya terdapat pertunjukan wayang.
Tokoh
terakhir dalam Tripama adalah Basukarna, seperti penjelasan diatas kita telah
memperoleh simpulan bahwa tokoh Basukarna adalah tokoh yang memiliki jiwa kepahlawanan,
kesetiaan, selalu mengingat jasa orang lain serta keteguhan hati yang tinggi.
Karakter ini, juga mampu dijadikan perspektif bagi mahasiswa khususnya adalah
mahasiwa seni pedalangan. Seorang mahasiswa hendaknya memiliki jiwa
kepahlawanan yang tinggi, hal ini dapat dilakukan dengan selalu menjaga persatuan dan kesatuan
kemajemukan bangsa seperti yang terdapat dalam empat pillar utama pada
pendidikan karakter yaitu “Bhineka Tunggal Ika”. Seorang mahasiswa pedalangan hendaknya
juga menempatkan karakter Basukarna yang selalu membela negaranya kedalam mind set mahasiswa sehingga setiap
tindakan yang dilakukan akan selalu berorientasi terhadap rasa cintanya
terhadap wayang untuk selalu menjaga, melestarikan dan mengembangkannya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan mengenai tokoh Tripama dalam Serat
Tripama tulisan KGPA Mangkoenegara IV sebagai perspektif pendidikan
karakter bagi mahasiswaa ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tokoh Tripama
yang didalamnya terdiri dari Tokoh Sumantri, Kumbakarna dan Karna adalah tokoh
yang masing-masing memiliki karakter mulia dan baik untuk dijadikan contoh
dalam kehidupan kita. KGPA Mangkoenegoro IV yang secara kemampuan sastra sudah
tidak diragukan lagi. M enurut asumsi
penulis KGPA Mangkoenegara IV mampu menyusun Serat Tripama secara objektif dan disiplin. Intisari karakter mulia
yang dimiliki ketiga tokoh tersebut mampu disuratkan secara indah dalam wujud
tembang yang sangat menarik untuk diresapi dan dilaksanakan. Tembang yang
berisi tentang karakter ketiga tokoh tersebut yang telah dijelaskan pada
pembahasan diatas menurut penulis telah menghasilkan pernyataan-pernyataan
mengenai karakter ketiga tokoh tersebut, yaitu:
Tokoh
Sumantri memiliki karakter pemberani, tanggung jawab, setia, rela berkorban dan
berjiwa satria tinggi. Hal ini, nampak jelas dalam kisah Sumantri ketika akan
mengabdi pada Harjuna Sasrabahu yang kemudian diterima hingga akhirnya harus
mati demi Harjuna Sasrabahu. Kisah ini menggambarkan sebuah nilai yang sangat
bagus untuk dicontoh.
Tokoh
Kumbakarna dalam pembahasan diatas dapat diisimpulkan bahwa Kumbakarna adalah
tokoh yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi, hal ini nampak jelas ketika
Kumbakarna rela gugur dalam peperangan demi tanah kelahirannya yaitu Alengka
yang sudah membesarkan jiwa raganya dan bukan membela Rahwana. Kisah ini mampu
memberikan inspirasi bagi kita bahwa walaupun Kumbakarna berwujud raseksa,
namun tindakan serta perilaku yang dimiliki oleh Kumbakarna adalah layaknya
seorang satria tama. Artinya, kita jangan
selalu menilai orang hanya dari luarnya saja melainkan lihatlah dari dalam
hatinya yang sesungguhnya itu adalah aslinya.
Tokoh
Suryaputra atau Basukarna dalam Serat Tripama tersebut dan setelah dilakukan
pembahasan, tokoh Basukarna adalah tokoh yang memiliki karakter pemberani serta
bertanggungjawab terhadap semua yang telah diucapkan. Artinya, Basukarna sudah
mengatakan bahwa dia tetap akan membela Kurawa karena Basukarna mampu hidup
menjadi seorang yang berharga semua juga berkat dari Kurawa yang menerima Karna
apa adanya. Disamping itu, Basukarna juga merasa bahwa dia hidup di Negara
Ngastina sehingga nasionalisme dalam dirinya juga muncul untuk ikut membela
Ngastina dari ancaman mungsuh meskipun itu Pandawa. Tekad bulat yang dimiliki
Karna untuk berbalas budi kepada Duryudana inilah yang juga merupakan perilaku
bijaksana yang juga patut untuk dijadikan tauladan.
Ketiga
tokoh tersebut apabila dikolerasikan dengan pendidikan karakter bagi mahasiswa
tentunya dapat terjalin relevansi yang cukup bermanfaat apabila benar-benar mau
meresapi, memahami dan melaksanakannya. Seorang mahasiswa seyogyanya mampu
menjadikan karakter-karakter yang dimiliki tokoh Tripama sebagai perspektif
atau pandangannya dalam memperbaiki karakter masing-masing individu yang kemudian
diaplikasikan dalam kehidupan sosial. Sebagai seorang mahasiswa atau generasi
muda yang nantinya memimpin banggsa ini, karakter yang dimiliki oleh tokoh
Tripama merupakan sebuah pandangan penting yang wajib untuk diketahui dan lebih
baiknya mampu melaksanakannya. Tentu pelaksanaannya juga sesuai dengan
kompetensi serta bidang masing-masing, penulis yakin dari nilai-nilai yang
terkandung dalam karakter tokoh Tripama tersebut selalu bisa untuk
diaplikasikan kepada bidang maupun kompetensi apapun, yang membedakan hanya
terletak dari wujud serta tindakan yang harus dilakukan, namun secara konsep
nilai yang mulia sementara ini masih sangat relevan untuk dilakukan terlebih
dijaman sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Laeyendecker,
L. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan. Jakarta:
Gramedia, 1983.
Murtiyoso, Sumanto, Suyanto dan Kuwato. Teori Pedalangan, Surakarta: CV. Saka
Production kerja sama dengan ISI Surakarta, 2007.
Soetaro, Sunardi dan Sudarsono. Estetika Pedalangan, Surakarta: CV. Adji
Surakarta bekerjasama dengan ISI Press, 2007.
Di imformasikan untuk parah pelangan jika butuh bantuan seperti berikut Angka togel Sewah tuyul Pasang susuk juga tersedia berbagai barang antik Silakan hubungi nyi rawih di nmor 0853 7778 3434 terima kasih
BalasHapus