15 Jan 2014

PERTUNJUKAN WAYANG KREATIF INOVATIF SEBAGAI SOLUSI MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL

PERTUNJUKAN WAYANG KREATIF INOVATIF
SEBAGAI SOLUSI MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL


Disusun oleh:
Catur Nugroho

INSTITUT SENI INDONESIA
SURAKARTA
2011



RINGKASAN
            Pertunjukan wayang kulit dewasa ini telah banyak mengalami perubahan, baik bentuk, makna, fungsi maupun peranannya. Hal demikian, nampak pada pertunjukan wayang kulit dulunya lebih ditekankan pada makna yang disampaikan atau terkandung, dapat dikatakan pertunjukan wayang memiliki makna sebagai tuntutan. Namun saat ini, seiring perkembangan jaman yang begitu erat dengan kecanggihan teknologi-teknologi modern, telah mengubah pertunjukan wayang menjadi pertunjukan yang bersifat hiburan semata, dengan kata lain pertunjukan wayang dewasa ini hanya sebagai tontonan, yang lebih mementingkan tuntutan lahir saja, begitu seterusnya hingga saat ini mengalami distorsi nilai.
            Tulisan ini memuat gagasan untuk berusaha sebisa mungkin membuat pertunjukan wayang tidak hanya bersifat hiburan semata, melainkan tetap peduli tentang ajaran dan nilai yang terkandung didalamnya. Untuk mengamati hal ini, tentu pengumpulan data lebih banyak terjun ke lapangan langsung, observasi, wawancara dan imajinasi yang relevan dan juga didukung telaah pustaka. Setelah memahami permasalahan tersebut, maka dilakukan kajian yang cermat, disiplin dan objektif untuk meneliti sebab, akibat dan bagaimana menjawab permasalahan tersebut.
            Setelah melakukan pembahasan maka munculah gagasan serta ide-ide seyogyanya pertunjukan wayang kulit dewasa ini dikemas secara kreatif, inovatif seperti yang akan dijelaskan dalam tulisan ini, dan tetap berorientasi pada ajaran-ajaran serta nilai-nilai yang terkandung. Dengan demikian, pertunjukan wayang mampu berperan dalam memperbaiki krisis moral dan karakter yang melanda masyarakat Indonesia saat ini, berapapun pengaruhnya.


 
SUMMARY

Puppetplays of husk in this time have experiencing of many transformation, meaning, function and also role of puppetplays. Matter that way, can be seen at puppetplays of husk, first more emphasized at is sent meaning or consist in, can be told puppetplays have meaning as tuntunan. But in this time, growth of era which so sliver sophisticatedly modern technologys, have altered puppetplays become show having the character of just entertainment amusement, so that puppetplays these days only as tontonan, more is making account of justly demand born, so further till in this time experience of value distortion.
This article load idea to try to to make puppetplays does not only having the character of just entertainment amusement, but remain to care about value and teaching which consist in in puppetplays. To perceive this matter, more data collecting plunge to location, observation, relevant imagination and interview as well as supported by book study. After comprehending the problems, hence conducted by careful study, discipline and objective to check cause, effect of and how to answer the problems.
Solution having taken steps hence idea munculah and also idea, puppetplays of husk better compiled creatively, inovatif such as those which will be explained in this article, and remain to orient at teachings and also values which consist in. Thereby, puppetplays can play a part in to improve;repair moral crisis and character crisis which knock over Indonesia society in this time.

 
 
 A.    PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
            Seni pedalangan merupakan salah satu bentuk kesenian tradisi Jawa yang telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat Jawa khususnya. Hal demikian, dapat diamati melalui funggsi dan peranan pertunjukan wayang yang didalamnya terkandung ajaran-ajaran, nilai-nilai, dan segala hal yang mengarah pada kebaikan. Hal ini, digambarkan dan atau diwujudkan pada watak maupun karakter tokoh wayang, jika diamati struktur dramatik perjalanan cerita(alur lakon) pertunjukan wayang kulit merupakan gambaran atau refleksi kehidupan masyarakat Jawa pada khususnya. Melihat cerita pertunjukan wayang yang begitu kompleks sehingga secara konvensional dunia pedalangan dan masyarakat Jawa sebagai pendukungnya mengakui bahwa pertunjukan wayang memiliki makna sebagai tuntunan dalam kehidupan.
            Dewasa ini makna pertunjukan wayang sebagai tuntunan mungkin tinggalah sebuah cerita belaka bagi masyarakat Jawa saat ini, perkembangan teknologi modern yang sangat erat bersentuhan dengan kehidupan manusia, disatu sisi memacu loncatan-loncatan drastis terhadap perkembangan kebudayaan kearah yang lebih cepat, akan tetapi dipihak yang lain justru memundurkan nilai-nilai atau makna yang sesungguhnya dari pertunjukan wayang itu sendiri, sehingga mampu membawa dampak terhadap perubahan kebudayaan.
            Teknologi telah membenturkan kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dengan begitu dekatnya, benturan yang terjadi tentu saja menimbulkan korban kebudayaan yang mampu berorientasi pada makna aslinya. Sebagai contoh, makna pertunjukan wayang yang dulu bersifat ekspresi seniman kini berbalik menjadi pertunjukan yang lebih mengutamakan tuntutan penonton, sehingga aturan-aturan lama harus beralih dan mengikuti pada satu arus yang menang dan berakibat dapat merubah tatanan yang dirasa sudah pas.
Kejadian tersebut merupakan keadaan yang sulit untuk dihindarkan lagi, terlebih dengan kemajuan zaman yang meliputi segala aspek sehingga membuat segalanya menjadi mengglobal. Istilah globalisasi dewasa ini telah menjadi kata yang penuh dengan fenomena di belakangnya, dari keadaan seperti ini salah satu dampak yang sangat terasa adalah kebudayaan lokal dalam hal ini adalah seni pedalangan, sebab globalisasi sangat erat dengan modern. Sementara, kebudayaan lokal diidentikan pada hal-hal yang bersifat kuno, sehingga kearifan serta ketahanan budaya lokal semakin hari semakin memprihatinkan, khususnya pertunjukan wayang di era globalisasi dewasa ini. Kedudukan pertunjukan wayang tidak terasa mulai tergeser kedudukannya oleh kebudayaan Barat yang sangat progresif dan mudah sekali mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat sekarang khususnya generasi muda.
            Kasus demikian dapat kita lihat dalam pertunjukan wayang kulit dewasa ini, dalang-dalang kelas menengah kebawah dalam menyajikan pertunjukan wayang, merupakan wujud timbal balik atau respon terhadap keinginan masyarakat yang lebih mengutamakan tuntutan lahir saja daripada tuntutan batin mereka, sehingga tidaklah heran mengapa pertunjukan wayang dewasa ini dapat dikatakan hanya pertunjukan yang lebih mengedepankan aspek-aspek hiburan saja. Pertunjukan wayang hanya digunakan sebagai wahana atau lahan komersial saja, pertunjukan wayang hanya diisi dengan hiburan semata, menyanyikan lagu-lagu dangdaut bahkan lagu pop, memasukan musik-musik diatonis, menambah pelawak serta penyanyi dan sebagainya, yang disesalkan adalah berlebihannya kreativitas dalang yang kurang memikirkan dampak yang akan terjadi. Misalnya, seperti dalam pertunjukan wayang kulit dengan dalang Sri Susila dari Klayutan Boyolali pada tanggal 15 Maret 2011 di desa Kopeng Salatiga, pertunjukan wayang yang disajikan juga memasukan musik diatonis, musik dangdut berikut penyanyi dangdutnya.
            Melihat fenomena seperti ini, seniman dalang kelas menengah ke bawah tidak bisa disalahkan begitu saja, karena kejadian ini merupakan hal yang wajar-wajar saja dilakukan. Pertunjukan wayang seperti itu merupakan wujud kreativitas seorang dalang, apalagi dalang dalam berkreativitas bebas berkarya, hal demikian merupakan usaha dalang dalam menuruti pangsa pasar. Mengapa dapat dikatakan dalang kelas menengah ke bawah yang pertunjukan wayangnya hanya bersifat hiburan semata? Hal itu disebabkan karena mereka harus memenuhi kebutuhan ekonomi mereka, sedangkan dalang-dalang yang sudah populer dan mapan mereka mampu menjaga kualitas dan eksistensinya pertunjukan wayangnya, karena mereka sudah tercukupi dalam hal kebutuhan ekonominya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan dalang yang sudah populer juga ikut masuk dalam pertunjukan wayang yang bersifat hiburan semata.
            Berdasarkan pertunjukan wayang dewasa ini makna tuntunan telah mengalami perubahan serta pergeseran makna  menjadi tontonan, artinya dalam pertunjukan tersebut tidak memiliki makna menuntun pada sesuatu hal yang lebih baik justru hanya suatu panggung pertunjukann hiburan saja. Sehingga, sebagai calon sarjana jurusan pedalangan tentunya turut prihatin dan harus ikut memikirkan serta mampu mencetuskan bagaimana pertunjukan wayang agar tidak semata-mata hanya untuk hiburan semata melainkan tetap memikirkan tentang makna-makna dan nilai-nilai yang terkandung.   
            Tulisan ini agar terarah maka dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana bentuk pertunjukan wayang dewasa ini yang lebih mengutamakan tuntutan hiburan dan atau lahiriah semata?
2.      Bagaimana ide serta gagasan kreatif yang mampu menjadi solusi menghadapi tantangan global dewasa ini?
Permasalahan tersebut untuk mendapat solusinya tentu perlu merumuskan gagasan serta ide agar pertunjukan wayang tetap berpijak pada ajaran serta nilai-nilai yang terkandung dan tetap mampu berkompetisi dalam era globalisasi sekarang ini. Pertunjukan wayang disajikan dengan konsep kreatif dan inovatif, kreatif artinya mampu menciiptakan hal-hal baru yang dapat diterima oleh masyarakat mencakup pada unsur-unsur garap pakeliran yaitu, sabet, catur dan karawitan pedalangan. Inovatif, artinya dalam menyusun karya pertunjukan wayang mampu memberikan inovasi-inovasi baru dalam pementasannya, hal ini dapat dilakukan pada bentuk, konsep, maupun sajian pertunjukan wayang itu sendiri.

Tujuan dan Manfaat
            Berdasarkan kejadian tersebut, bahwa pertunjukan wayang kulit dewasa ini hanya bersifat hiburan semata, tanpa mempedulikan makna, nilai dan ajaran yang terkandung didalam pertunjukan wayang, maka dengan gagasan serta ide-ide yang akan saya tulis besar harapan tujuan dan manfaatnya, sehingga pertunjukan wayang kulit dewasa ini mampu menjadi wahana apresiasi masyarakat dalam rangka pencerminan kehidupan masyarakat.
               Setelah itu, sekiranya pertunjukan wayang mampu menimbulkan dampak maupun pengaruh nyata terhadap kehidupan manusia yang lebih baik bagi masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Mengingat, bahwa krisis moral saat ini merupakan bahaya laten yang tidak bisa dianggap sebelah mata begitu saja.
            Dengan demikian, pertunjukan wayang kulit benar-benar merupakan kebudayaan agung dunia seperti yang telah diberikan oleh UNESCO yang selayaknya dihargai, dilestarikan, dikembangkan serta mampu menjadi suatu lambang atau identitas yang dapat dibanggakan di mata dunia. Sehingga, pertunjukan wayang mampu menjadi tradisi kebudayaan yang memiliki daya tarik tinggi baik nasional maupun internasional.

Telaah Pustaka
Persoalan mengenai pertunjukan wayang kulit dewasa ini yang lebih mengutamakan tuntutan hiburan semata, dan kurang memperhatikan nilai-nilai yang terkandung merupakan kajian yang sangat menarik. Dalam hal ini, tentu telaah pustaka perlu dilakukan dengan sangat sistematis agar mampu membantu penulisan ini.
Buku Soetarno yang berjudul Wayang Kulit Perubahan Makna Ritual dan Hiburan, dalam buku ini membahas tentang dalang yang dulunya sangat memperhatikan nilai religius, estetis. Berbeda dengan dalang sekarang yang lebih mengutamakan hiburan dan lebih terkesan glamour.
Dalam buku Wayang Kulit dan Perkembangannya tuulisan Soetarno dan Sarwanto hanya berupa deskripsi perkembangan pertunjukan wayang dari tahun 1930-an hingga tahun 2000-an.
Buku yang berjudul Industri Kreatif Berbasis Tradisi dalam Era Globalisasi, yang ditulis oleh Ellya Zulaikha membahas mengenai komodivikasi tokoh Punakawan dan Basiyo dalam karya visual di era globalisasi.
Berdasarkan beberapa tulisan diatas, penelitian tentang pertunjukan wayang kulit dewasa ini yang lebih mengutamakan tuntutan hiburan semata, dan kurang memperhatikan nilai-nilai yang terkandung ini belum pernah dikaji oleh peneliti lain. Ini artinya bahwa pembahasan ini menjadi penting keberadaanya sebagai khasanah perbendaharaan penelitian seni pewayangan.

Landasan Teori
Pertanyaan tentang pergeseran makna dan fungsi pertunjukan wayang dewasa ini yang terkesan mengutamakan segi hiburan semata menunjukan suatu paradigma yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu paradigma perubahan. Disini dapat dilihat adanya perubahan kebudayaan dan perilaku manusia dalam masyarakat dari keadaan tertentu ke keadaan yang lain. Menurut Gillin, perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima yang disebabkan karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi atau pun penemuan baru dalam masyarakat (Abdulsyani, 1994:163; Hendropuspito, 1989:256). Dalam paradigma perubahan ini, penulis mencoba menempatkan pertunjukan wayang dewasa ini sebagai  kebudayaan yang mengalami perubahan paradigma dari masyarakat pendukungnya.
Kasus perubahan paradigma masyarakat terhadap pertunjukan wayang merupakan hal menarik, karena dapat diketahui dari mana datangnya perubahan paradigma masyarakat serta bagaimana perbandingan perubahan dengan stabilitas tata dan keajekan. Laeyendecker memberikan jawaban pada kejadian ini, yaitu:
Pertama, masyarakat pada hakekatnya adalah stabil, tetapi secara ajek muncul faktor pengganggu yang menyebabkan perubahan; kedua, masyarakat pada hakekatnya berubah namun karena bergabungnya berbagai faktor maka masyarakat tersebut kadang-kadang stabil untuk waktu yang lama; ketiga, antara stabilitas dan perubahan merupakan dua sisi yang sama. Ini artinya bahwa menimbulkan perubahan sama sukarnya dengan membendung perubahan (1983:54).
Dalam paradigma perubahan, baik yang sosiologis maupun antropologis, hal diatas menunjukan suatu perubahan internal maupu eksternal. Dengan demikian, tulisan ini secara tidak langsung menggunakan teori evolusi maupun teori difusi. Hal ini, tercermin dari adanya perubahan paradigma masyarakat terhadap pertunjukan wayang dalam era globalisasi. Antara evolusi dan difusi pada pembahasan ini menjadi satu kesatuan yang sulit terpisahkan (Linton, 1984:237).
Pertunjukan wayang dewasa ini memiliki fungsi individual dan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat, yang dimaksud fungsi individu yaitu fungsi guna yang didalamnya menyangkut kebutuhan pribadi seseorang,  sedangkan fungsi sosial merupakan fungsi yang melibatkan banyak orang, dalam konteks ini adalah masyarakat. Soetarno menjelaskan:
Kehidupan modern atau dalam proses modernisasi yang mengutamakan efisiensi membuat mobilitas masyarakat sangat tinggi. Hal ini, tidak jarang membawa kehidupan tradisional tersisihkan, gejala ini juga tampak dalam kehidupan kesenian. Upacara bersih desa  yang memiliki nilai estetis dan nilai ritual tidak luput dari pengaruh modernisasi. (1995:66).

Metode Penulisan
Penelitian ini dimulai dengan  pengumpulan data tentang bentuk pertunjukan wayang kulit dewasa ini yang lebih mengutamakan tuntutan hiburan saja, dan kurang memperhatikan nilai-nilai yang terkandung melalui observasi langsung. Hal ini dimaksudkan agar peneliti mendapatkan gambaran yang jelas mengenai paradigma masyarakat terhadap pertunjukan wayang pada era globalisasi secara langsung terjun ke lapangan.
            Studi pustaka dimaksudkan untuk mencari teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan pertunjukan wayang kulit dewasa ini yang lebih mengutamakan tuntutan hiburan saja, dan kurang memperhatikan nilai-nilai yang terkandung. Oleh karena itu, buku-buku tentang antropologi dan sosiologi banyak dipakai dalam mengkaji permasalahan ini. Selain itu, studi pustaka ini dimaksudkan untuk menunjukan orisinalitas tulisan yang dilakukan dari berbagai penelitian yang telah ada.
            Wawancara dilakukan secara mendalam terhadap beberapa narasumber terpilih yang berkaitan dengan keterlibatannya sesuai dengan permasalahan ini. Pemilihan narasumber ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, seperti tingkat keahlian, daya ingat, kesehatan, dan kecakapan. Hal penting yang akan dijadikan narasumber, yaitu dalang, kritikus seni, dan masyarakat pewayangan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial, seperti antropologi dan sosiologi, karena didalamnya membahas tentang aspek perubahan dengan mengangkat paradigma perubahan sosial-budaya. Karena sifat penelitian ini kualitatif, maka instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Beberapa instrumen pendukung  yang digunakan yaitu tape-recorder, kamera foto. Selanjutnya, diadakan analisis data yang meliputi latar belakang, pandangan masyarakat terhadap pertunjukan wayang kulit dewasa ini yang lebih mengutamakan tuntutan hiburan saja, dan kurang memperhatikan nilai-nilai yang terkandung, dan proses terjadinya perubahan paradima masyarakat terhadap pertunjukan wayang dalam era globalisasi.

B.     GAGASAN

Pertunjukan Wayang Kulit Dewasa ini
            Perubahan pertunjukan wayang kulit dewasa ini yang dulunya lebih menekankan pada ekspresi seniman dalang, makna dan nilai yang terkandung didalamnya sehingga pertunjukan wayang kulit mampu menimbulkan kesan-kesan estetis dibatin manusia, dan saat ini pertunjukan wayang kulit hanya menekankan pada sisi hiburan semata dapat dikatakan adalah hal yang wajar dan logika untuk terjadi. Namun, yang disayangkan adalah kelalaian seniman dalang dalam berkreativitas tanpa memikirkan dampak dan akibat yang akan terjadi. Kondisi yang seperti sekarang ini, Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa segala kebudayaan berada dalam krisis oleh karena bertemu, bercampur aduk saling pengaruh dengan kebudayaan-kebudayaan lain (Alisjahbana 1985:52). Dalam hal ini, jelaslah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta masuknya budaya-budaya barat di Indonesia yang progresif, merupakan faktor-faktor perubahan pertunjukan wayang dewasa ini yang berkembang di masyarakat, antara lain:
1.      Pertunjukan wayang kulit memasukan unsur-unsur baru dari musik-musik barat maupun musik dangdut (gitar, keybord, drumd, ketipung dan masih banyak lagi).
2.      Pertunjukan wayang kulit menambahkan pemain-pemain baru, seperti pelawak, dagelan dan penyanyi untuk menambah suasana pertunjukan semakin meriah.
3.      Pertunjukan wayang kulit memasukan teknologi-teknologi modern dalam pementasannya, seperti menambahkan efek film, tata cahaya, dan sebagainya.
Perkembangan diatas apabila diamati dari sisi berkesenian merupakan hal yang wajar-wajar saja karena merupakan wujud kreativitas dalang. Akan tetapi, di sisi lain pertunjukan tersebut telah melampaui batas sehingga merusak esensi dan makna sesungguhnya yang terkandung dalam pertunjukan itu, bahkan pertunjukan wayang dewasa ini lebih didominasi sisi hiburan saja. Hal demikian, secara tidak langsung telah mengubah paradigma masyarakat dalam menikmati pertunjukan wayang kulit, sungguh memprihatinkan.
            Dalang Warsino dari Batu, Wonogiri mengatakan, bahwa para dalang tenar itu selalu laris sehingga mereka kurang menghayati dunia pakeliran, akibatnya sajian pakelirannya hanya mengejar bentuk lahir saja, kurang ekspresif dalam segala hal. Akan tetapi, Tristuti Suryasaputra dalang senior dari Surakarta tidak menyalahkan mereka, sebab orientasi dalang sekarang ini lebih ditujukan kepada kepuasan masyarakat luas (Soetarno 2004:157). Sebenarnya, tidaklah masalah dari kedua anggapan dalang senior tersebut memang demikian pada kenyataannya, masalahnya adalah berlebihannya kreatif dalang sekarang tanpa memikirkan resiko yang akan terjadi meliputi esensi maupun eksistensi pertunjukan wayang kulit itu sendiri. Menurut seorang dalang yang saya wawancarai yaitu Ki. Joko “mengapa pertunjukan wayang kulit anda lebih berorientasi pada bentuk hiburan semata?” jawabannya singkat “karena itu pangsa pasar saat ini, kalau tidak begitu tidak laku”, mungkin jawaban tersebut muncul karena saat ini pertunjukan seperti itu yang diinginkan masyarakat dewasa ini yang lebih mengutamakan tuntutan lahir saja daripada tuntutan batin.
Dengan demikian pertunjukan wayang kulit dewasa ini yang telah berkembang ditengah-tengah masyarakat, memang sudah banyak yang telah lepas dari aturan-aturan terdahulu, yang masih menekankan makna dan nilai yang terkandung didalam pertunjukan wayang.

Pertunjukan Wayang Kreatif Inovatif sebagai Solusi Menghadapi Tantangan Global
            Berdasarkan pertunjukan wayang dewasa ini, untuk menghadapi tantangan global dan mampu menciptakan pertunjukan yang masih mengandung nilai-nilai serta ajaran moral, maka munculah gagasan serta ide-ide melakukan perubahan pertunjukan wayang kreatif, inovatif yang tetap memperhitungkan dampak, akibat dan masa depannya, yaitu:
            Kreatif, menurut salah satu dosen pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta yaitu Blacius Subono “kreatif artinya sesuatu yang baru  atau belum pernah ada, dan hal tersebut berhasil serta diakui oleh masyarakat”, sedangkan Bambang Murtiyoso yang juga merupakan dosen ISI Surakarta mengartikan bahwa kreatif adalah “sesuatu hal yang baru tapi tidak sekedar baru”. Artinya, pertunjukan wayang yang didalamnya memiliki garap pakeliran meliputi sabet (semua gerak wayang meliputi: tanceban, entas-entasan, ulap-ulap, cancut), catur (bahasa dalang yang digunakan dalam pertunjukan wayang meliputi: janturan, pocapan dan ginem) dan iringan atau karawitan pedalangan meliputi sulukan, dodogan, keprakan dan instrument gamelan digarap atau diolah semenarik mungkin dengan hal-hal yang baru sekiranya mempunyai daya tarik tinggi dan tetap bernilai.
Bentuk kreatif dalam hal sabet, dalang mampu memainkan wayang dengan sangat atraktif, artinya garap sabet mengaplikasi dari gerak-gerak akrobatik, karate, silat, gerak yang relevan dalam kehidupan nyata dan lain-lain. Sebagai contoh, ketika perang antara tokoh wayang Anoman dengan tokoh wayang Aswatama, gerakan Anoman saat menghajar Aswatama dapat mengaplikasi dari gerak kera sungguhan, misalkan Anoman berpindah-pindah tempat dari satu pohon ke pohon yang lain, sehingga penonton akan lebih tertarik untuk menikmati pertunjukan tersebut.
Kreatif dalam hal catur, artinya bahasa yang digunakan dalam pertunjukan wayang menggunakan bahasa yang lebih mudah untuk dimengerti masyarakat secara luas dan lebih komunikatif, mengingat bahasa dalam pedalangan dewasa ini sulit untuk ditangkap oleh masyarakat awam. Misalnya, dalam konteks pembicaraan antara tokoh wayang Duryudana dengan Sengkuni, dalam adegan jejer Astina berdasarkan pakem (aturan yang sudah disepakati dan sepaham  secara konvensional), di lingkungan Keraton Surakarta atau disebut dengan bahasa kedhaton, Duryudana memanggil Sengkuni menggunakan kata “pakenira” dan Duryudana menyebut dirinya menggunakan kata “manira”, jika dalam pertunjukan wayang dewasa ini masih menggunakan bahasa kedhaton diatas, kemungkinan besar masyarakat awam tidak dapat mengerti dan memahami makna dari kata tersebut. Dengan demikian, agar bahasa dalang lebih mudah dimengerti, misalnya kata pakenira diganti dengan kata jenengsira atau jengandika, dan kata manira diganti dengan kata jeneng ingsun atau ingsun. Sehingga, kata tersebut akan lebih mudah dipahami jika dibandingkan dengan bahasa kedhaton.
Bentuk kreativitas dalam hal iringan atau karawitan pedalangan yang meliputi sulukan, dan gendhing. Secara pakem jejer Astina menggunakan iringan gendhing Kabor, namun untuk menggambarkan keadaan Negara Astina dalam keadaan sedih tentu gendhing Kabor kurang sesuai dengan suasana, karena gendhing Kabor memiliki suasana Agung, maka untuk memberikan kesan sedih gendhing yang digunakan adalah gendhing Tlutur yang susunan gendhingnya membentuk suasana sedih, sehingga dalam rangka membangun suasana sedih akan lebih berkesan dalam hati sanubari penonton. Selain itu, dalam pertunjukan wayang tidak harus menambahkan unsur-unsur seperti: penyanyi dangdut, musik dangdut, musik pop, pelawak dan sebagainya, selama hal itu merusak cara pandang masyarakat terhadap pertunjukann wayang, karena hal tersebut memiliki wilayah yang berbeda. Sebenarnya seorang dalang cukup mengandalkan daya kreativitasnya dalam mengolah dan menyusun karyanya sesuai dengan suasana yang diinginkan, upaya tersebut sekiranya telah mampu diterima dan diminati masyarakat pendukung  pertunjukan wayang kulit.
Durasi dalam pertunjukan wayang, bagi seorang dalang kreatif tentu perlu untuk dipertimbangkan lagi, jika pertunjukan wayang disajikan selama semalam suntuk  sekitar tujuh jam, yaitu antara pkl. 21:00 sampai dengan pkl. 04:00, untuk konsumen masyarakat dewasa ini tentu akan merasa jenuh, sehingga meninggalkan pertunjukan wayang padahal pertunjukan tersebut belum selesai, hal ini berakibat akhirnya penonton tidak mengetahui jalannya cerita secara keseluruhan. Dengan demikian, perlu disiasati yaitu pertunjukan wayang hanya disajikan selama empat atau lima jam saja, anatara pkl. 21:00 sampai dengan pkl. 01:00, untuk mengurangi durasi pertunjukan wayang dapat dilakukan dengan mengurangi adegan-adegan yang tidak penting dan kurang mendukung jalannya cerita, misalnya adegan babak unjal, gapuran, kedhatonan serta mengurangi eksistensi sisi hiburannya, sebagai contoh adegan limbukan dan goro-goro tidak perlu menghabiskan waktu sampai berjam-jam, sehingga pertunjukan tidak terkesan untuk senang-senang saja. Dengan demikian, durasi yang lebih efisien dan efektif tersebut maka penonton akan lebih merasa betah untuk menikmati sajian tersebut, misalkan di Taman Budaya Jawa Tengah menggelar pertunjukan wayang rutinan setiap malam jumat kliwon sajian pakelirannya hanya disajikan sekitar empat sampai lima jam, pada kenyataannya penonton masih begitu banyak hingga pertunjukann wayang selesai.
Inovatif, artinya melakukan inovasi atau pembaharuan pada karya tersebut dalam hal ini adalah pertunjukan wayang kulit, hal ini sangat perlu dilakukan sebagai salah satu cara menghadapi tantangan global. Kenyatannya,  masyarakat dewasa ini lebih cenderung menyukai hal-hal baru dan serba instan atau siap saji. Hal ini, menunjukan bahwa masyarakat dewasa ini tidak mau untuk berfikir hal-hal yang terlalu rumit. Sebagai contoh, masyarakat dewasa ini lebih menyukai lagu-lagu pop daripada lagu-lagu tradisi atau lokal seperti gendhing-gendhing jawa, karena lagu pop lebih mudah untuk dimengerti karena tingkat kesulitannya lebih rendah jiika dibandingkan dengan gendhinng-ggendhing jawa, sebab untuk memahami makna yang terkandung perlu melalui konntemplasi terlebih dahulu.
Melihat kasus tersebut, agar pertunjukan wayang mampu bersaing dengan kebudayaan-kebudayaan barat yang dewasa ini berkembang pesat dan progresif di tengah-tengah masyarakat, maka kreativitas dalang sangat dituntut untuk keeksisannya. Kenyatannya, hingga saat ini telah lahir berbagai macam bentuk pertunjukan wayang inovatif yang sekarang mulai dikenalkan pada masyarakat. Bentuk pertunjukan wayang yang muncul, antara lain:
1.      Pakeliran  Padat, dilihat dari sisi bentuk mempunyai perbedaan dengan pakeliran semalam. Dalam pertunjukannya, pakeliran padat tidak berorientasi pada waktu, tetapi pada persoalan yang diungkapkan melalui lakon(cerita) sehingga lama penyajiannya tidak dapat ditentukan. Selain itu, mengenai susunan pathet apabila dalam pertunjukan semalam berawal dari pathet nem, pathet sanga terakhir patthet manyura, sedangkan pakeliran padat bebas untuk menentukan pathet disesuaikan dengan kebutuhan adegan. Pencapaian maksud rasa adegan dan karakter tokoh wayang adalah tujuan utama guna mencapai suatu rasa hayatan dari sebuah pertunjukan. Pemakaian gendhing-gendhing bebas untuk menggunakan, misalkan memakai sulukan gaya Yogya dan sebagainya.
2.      Pakeliran Sandosa, lahir di ASKI Surakarta yang sekarang ISI Surakarta. Sebuah karya baru, pementasan menggunakan bahasa Indonesia, layar yang digunakan sangat lebar serta bersifat elastis artinya dapat digerakkan kemana saja sesuai dengan kebutuhan. Tidak hanya dilakukan oleh satu dalang melainkann oleh banyak dalang. Bentuk susunan sajian dalam satu lakon bebas tidak sama dengan pola pakem pakeliran tradisi. Pada umunya, pelaku pertunjukan wayang terdiri atas dalang, pengrawit, dan sinden. Hal demikian, berbeda dengan pelaku pertunjukkan wayang sandosa yang terdiri atas sutradara, penyusun naskah, penata antawacana, sulih suara, narator, penata sabet, peraga wayang, penata iringan, pengrawit, pesinden, penata lampu dan teknisi sound system. Para pelaku pertunjukan memiliki tugas dan kedudukan yang berlainan dalam suatu rangkaian pertunjukan pakeliran sandosa. Pembentuk pakeliran sandosa terdiri dari unsur tradisional yang dipadukan dengan unsur baru. Beberapa unsur seperti wayang, gamelann, kelir, dalang, sinden, pengrawit dalam pertunjukan wayang tradisional masih digunakan, namun tidak dihadirkan dalam bentuk pakeliran sandosa. Sedangkan unsur baru yang digunakan adalah lighting, bahasa pengantar cerita dan teknik pengekspresiannya (Sunardi, 2004:22-23).
3.      Wayang Suket, dengan penciptanya yaitu Slamet Gundono yang merupakan alumni dari ISI Surakarta. wayang suket berbeda dengan pertunjukan wayang pada umumnya, baik dari bentuknya maupun sajiannya. Wayang suket wayang yang digunakan terbuat dari suket dalam bahasa Indonesia berarti rumput. Cerita yang digunakan dalam wayang suket berorientasi pada kejadian masa kini atau up to date.
4.      Wayang Mlaku, merupakan komunitas baru yang didirikan oleh Catur Nugroho mahasiswa pedalangan ISI Surakarta. pertunjukannya mengapliikasikan konsep wayang sandosa dengan iringan kolaborasi antara musik pentatonis dengan musik diatonis. Penggarapan cerita berdasarkan situasi yang relevan dengan keadaan jaman, penyusunan cerita juga bersifat pendidikan (education).
Bentuk pertunjukan wayang kreatif dan inovatif tentu masih banyak lagi seperti wayang multimedia, wayang kampung sebelah dan tentu akan masih banyak lagi muncul bentuk-bentuk baru. Mengingat, setiap dalang memiliki daya kreativitas yang berbeda-beda  dengan tingkatan yang bervariasi pula. Perkembangan jaman yang begitu cepatnya, secara otomatis pertunjukan wayang juga akan selalu responsif dan adaptif. Akan tetapi, satu hal yang perlu diperhatikan para seniman khususnya dalang, dalam berkarya dan berkreativitas jangan sampai pertunjukan yang dihasilkan lepas dari ajaran-ajaran, nilai-nilai dan makna yang seharusnya termuat dalam pertunjukan wayang. Sehingga, pertunjukan wayang tidak hanya bersifat hiburan semata, melainkan suatu karya seni yang benar-benar memiliki daya tarik dan kualitas yang tinggi.
Seniman khususnya dalang untuk melakukan beberapa langkah cara tersebut perlu memiliki bekal yang cukup baik pengalaman, kemampuan, ketrampilan, keuletan, ketelitian maupun daya kreativitas yang tinggi serta adanya rasa keberanian untuk maju. Sehingga, pertunjukan wayang yang dihasilkan tidak hanya bersifatt hiburan semata, melainkan tetap berpijak pada makna cerita pertunjukan wayang, dengan demikian mampu berkesan dalam hati penghayat, dan mampu mempengaruhi membaiknya krisis moral yang saat ini melanda bangsa Indonesia.


C.    KESIMPULAN

Pertunjukan wayang dewasa ini semakin hari semakin ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Hal ini, perlu mendapat perhatian khusus agar pertunjukan wayang tidak akan punah. Di satu sisi, hal ini akibat perkembanggan zaman yang mengglobal dan secara tidak langsung mempengaruhi paradigma masyarakat terhadap pertunjukan wayang. Oleh sebab itu, selayaknya mulai saat ini pertunjukan wayang harus digarap dan diolah sedemikian menarik seperti dalam penggarapan sabet, catur, iringan, garap pakeliran dan bentuk kreativitas diolah semenarik mungkin sehingga mampu membentuk pertunjukan yang benar-benar krreatif, inovatif, atraktif, dan tetap bernilai. Sehingga, masyarakat akan tetap setia menjadi pendukung pertunjukan wayang.
            Gagasan tersebut akan dapat tercapai apabila dilakukan sosialisasi serta perbincangan secara mendalam terhadap seniman-seniman lainnya, khususnya dalang. Di samping itu, juga meningkatkan intensitas pengembangan kelompok Wayang Mlaku serta bentuk wayang inovatif baru lainnya dengan mengadakan pentas-pentas serta workshop sebagai pijakan awal saya dalam mencapai dan merealisasikan gagasan ini.
            Hal tersebut akan dapat terwujud tentunya tidak terlepas dari turut serta pemerintah dan pihak-pihak terkait, baik secara formal maupun informal, serta dukungun penuh dari masyarakat sebagai pendukung pertunjukan wayang. Menurut pendapat penulis seyogyanya pemerintah maupun lembaga mampu memberikan wujud nyata guna mencapai ide serta gagasan tersebut. Lembaga dalam hal ini adalah Institut Seni Indonesia Surakarta, merupakan lembaga tinggi yang memiliki program studi Seni Pedalangan memiliki peran serta tanggung jawab yang besar terhadap perkembangan maupun eksistensi pertunjukan wayang. Hal nyata yang dapat dilakukan adalah, jurusan pedalangan Institut Seni Indonesia menggelar, menyelenggarakan dan menjadi mediator sebuah wahana maupun ajang untuk berkreativitas dalam hal pertunjukan wayang pada tingkat mahasiswa maupun tingkat umum. Hal demikian, apabila mampu ditindak secara nyata kemungkinan hasil yang akan diperoleh akan sangat besar. Selain melatih kreativitas seniman dalang, juga mampu menjadi wujud respon dan inovasi pertunjukan wayang bagi pendukungnya.
Pemerintah seharusnya mampu menjadi motivator bagi seniman dalang, dan juga mampu menjadi publikator pertunjukan wayang pada masyarakat. Peran pemerintah dapat memberikan jaminan serta wadah bagi kreativitas dalang, sehingga ketika dalang berkreativitas ada sesuatu hal bernilai yang akan diperoleh, ini dapat berwujud sebuah penghargaan, atau pengakuan. Pemerintah hendaknya mampu mempromosikan hasil karya kreativitas seniman dalang pada masyarakat secara luas baik tingkat nasional maupun internasional.
Melakukan upaya tersebut dampak dan manfaat yang akan dicapai tidaklah mudah begitu saja, mengingat dewasa ini masyarakat sudah terlanjur kurang memperhatikan pertunjukan wayang, terlebih generasi muda. Akan tetapi, jika gagasan tersebut benar-benar memperoleh dukungan sepenuhnya baik dari pemerintah, lembaga, maupun seniman-seniman dan turut serta masyarakat, maka perlahan tapi pasti pertunjukan wayang kreatif, inovatif, atraktif, komunikatif dan tetap bernilai akan cepat terwujudkan. Sehingga  masyarakat tidak akan meninggalkan pertunjukan wayang yang seyogyanya mampu menjadi benteng ketahanan nasional pada era globalisasi dewasa ini.



 
 DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. Sosiologi: Skematik, Teori, dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Alisjahbana, S. Takdir, Seni dan Sastra di Tengah-tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan, Jakarta: Dian Rakyat, 1985.
Hendropuspito OC, D. Sosiologi Sistematik. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
---------------------. Antropologi I. Jakarta: UI Press, 1996
Laeyendecker, L. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan. Jakarta: Gramedia, 1983.
Moleong, I. Lexy. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
Muhadjir, Neong. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1991.
Murtiyoso, Suyanto dan Sumanto. Teori Pedalangan, Surakarta: ISI Surakarta, CV. Saka Production, 2007.
Soetarno, Sunardi dan Sudarsono. Estetika Pedalangan, Surakarta: CV. Adji Surakarta bekerjasama dengan ISI Press, 2007.
Soetarno, Wayang Kulit: Perubahan Makna Ritual dan Hiburan, Surakarta: STSI Press, 2004.
Soetarno. “Nilai-nilai Tradisional Versus Nilai-nilai Baru dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Jawa Masa Kini”. Laporan Penelitian Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, 1997.
Soetarno. Wayang Kulit Jawa. Surakarta: CV. Cendrawasih, 1995.
Sudarko, Pakeliran Padat Pembentukan dan Penyebarannya, Surakarta: Citra Etnika, 2003.
Sunardi, “Pakeiran Sandosa dalam Perspektif Pembaharuan Pertunjukan Wayang”, Tesis S-2 Program Pasca Sarjana STSI Surakarta, 2004.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar