PERTUNJUKAN WAYANG KREATIF INOVATIF
SEBAGAI SOLUSI MENGHADAPI TANTANGAN
GLOBAL
Disusun oleh:
Catur Nugroho
INSTITUT SENI INDONESIA
SURAKARTA
2011
RINGKASAN
Pertunjukan
wayang kulit dewasa ini telah banyak mengalami perubahan, baik bentuk, makna,
fungsi maupun peranannya. Hal demikian, nampak pada pertunjukan wayang kulit
dulunya lebih ditekankan pada makna yang disampaikan atau terkandung, dapat
dikatakan pertunjukan wayang memiliki makna sebagai tuntutan. Namun saat ini, seiring perkembangan jaman yang begitu
erat dengan kecanggihan teknologi-teknologi modern, telah mengubah pertunjukan
wayang menjadi pertunjukan yang bersifat hiburan semata, dengan kata lain
pertunjukan wayang dewasa ini hanya sebagai tontonan,
yang lebih mementingkan tuntutan lahir saja, begitu seterusnya hingga saat ini
mengalami distorsi nilai.
Tulisan ini memuat gagasan untuk
berusaha sebisa mungkin membuat pertunjukan wayang tidak hanya bersifat hiburan
semata, melainkan tetap peduli tentang ajaran dan nilai yang terkandung
didalamnya. Untuk mengamati hal ini, tentu pengumpulan data lebih banyak terjun
ke lapangan langsung, observasi, wawancara dan imajinasi yang relevan dan juga
didukung telaah pustaka. Setelah memahami permasalahan tersebut, maka dilakukan
kajian yang cermat, disiplin dan objektif untuk meneliti sebab, akibat dan
bagaimana menjawab permasalahan tersebut.
Setelah melakukan pembahasan maka
munculah gagasan serta ide-ide seyogyanya pertunjukan wayang kulit dewasa ini
dikemas secara kreatif, inovatif seperti yang akan dijelaskan dalam tulisan
ini, dan tetap berorientasi pada ajaran-ajaran serta nilai-nilai yang
terkandung. Dengan demikian, pertunjukan wayang mampu berperan dalam
memperbaiki krisis moral dan karakter yang melanda masyarakat Indonesia saat
ini, berapapun pengaruhnya.
SUMMARY
Puppetplays of husk in this time have experiencing of many
transformation, meaning, function and also role of puppetplays. Matter that
way, can be seen at puppetplays of husk, first more emphasized at is sent
meaning or consist in, can be told puppetplays have meaning as tuntunan. But in this time, growth of
era which so sliver sophisticatedly modern technologys, have altered puppetplays
become show having the character of just entertainment amusement, so that
puppetplays these days only as tontonan,
more is making account of justly demand born, so further till in this time
experience of value distortion.
This article load idea to try to to make puppetplays does not only
having the character of just entertainment amusement, but remain to care about
value and teaching which consist in in puppetplays. To perceive this matter,
more data collecting plunge to location, observation, relevant imagination and
interview as well as supported by book study. After comprehending the problems,
hence conducted by careful study, discipline and objective to check cause, effect
of and how to answer the problems.
Solution having taken steps hence idea munculah and also idea,
puppetplays of husk better compiled creatively, inovatif such as those which
will be explained in this article, and remain to orient at teachings and also
values which consist in. Thereby, puppetplays can
play a part in to improve;repair moral crisis and character crisis which knock
over Indonesia society in this time.
A.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Seni
pedalangan merupakan salah satu bentuk kesenian tradisi Jawa yang telah menjadi
bagian dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat Jawa
khususnya. Hal demikian, dapat diamati melalui funggsi dan peranan pertunjukan
wayang yang didalamnya terkandung ajaran-ajaran, nilai-nilai, dan segala hal
yang mengarah pada kebaikan. Hal ini, digambarkan dan atau diwujudkan pada watak maupun karakter tokoh wayang, jika
diamati struktur dramatik perjalanan cerita(alur
lakon) pertunjukan wayang kulit merupakan gambaran atau refleksi kehidupan
masyarakat Jawa pada khususnya. Melihat cerita pertunjukan wayang yang begitu
kompleks sehingga secara konvensional dunia pedalangan dan masyarakat Jawa
sebagai pendukungnya mengakui bahwa pertunjukan wayang memiliki makna sebagai tuntunan dalam kehidupan.
Dewasa ini makna pertunjukan wayang
sebagai tuntunan mungkin tinggalah
sebuah cerita belaka bagi masyarakat Jawa saat ini, perkembangan teknologi
modern yang sangat erat bersentuhan dengan kehidupan manusia, disatu sisi
memacu loncatan-loncatan drastis terhadap perkembangan kebudayaan kearah yang
lebih cepat, akan tetapi dipihak yang lain justru memundurkan nilai-nilai atau
makna yang sesungguhnya dari pertunjukan wayang itu sendiri, sehingga mampu
membawa dampak terhadap perubahan kebudayaan.
Teknologi telah membenturkan
kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dengan begitu dekatnya, benturan yang
terjadi tentu saja menimbulkan korban kebudayaan yang mampu berorientasi pada
makna aslinya. Sebagai contoh, makna pertunjukan wayang yang dulu bersifat
ekspresi seniman kini berbalik menjadi pertunjukan yang lebih mengutamakan
tuntutan penonton, sehingga aturan-aturan lama harus beralih dan mengikuti pada
satu arus yang menang dan berakibat dapat merubah tatanan yang dirasa sudah
pas.
Kejadian
tersebut merupakan keadaan yang sulit untuk dihindarkan lagi, terlebih dengan
kemajuan zaman yang meliputi segala aspek sehingga membuat segalanya menjadi
mengglobal. Istilah globalisasi dewasa
ini telah menjadi kata yang penuh dengan fenomena di belakangnya, dari keadaan
seperti ini salah satu dampak yang sangat terasa adalah kebudayaan lokal dalam
hal ini adalah seni pedalangan, sebab globalisasi sangat erat dengan modern.
Sementara, kebudayaan lokal diidentikan pada hal-hal yang bersifat kuno,
sehingga kearifan serta ketahanan budaya lokal semakin hari semakin
memprihatinkan, khususnya pertunjukan wayang di era globalisasi dewasa ini.
Kedudukan pertunjukan wayang tidak terasa mulai tergeser kedudukannya oleh
kebudayaan Barat yang sangat progresif dan mudah sekali mendapat tempat dalam
kehidupan masyarakat sekarang khususnya generasi muda.
Kasus demikian dapat kita lihat
dalam pertunjukan wayang kulit dewasa ini, dalang-dalang kelas menengah kebawah
dalam menyajikan pertunjukan wayang, merupakan wujud timbal balik atau respon
terhadap keinginan masyarakat yang lebih mengutamakan tuntutan lahir saja
daripada tuntutan batin mereka, sehingga tidaklah heran mengapa pertunjukan
wayang dewasa ini dapat dikatakan hanya pertunjukan yang lebih mengedepankan
aspek-aspek hiburan saja. Pertunjukan wayang hanya digunakan sebagai wahana
atau lahan komersial saja, pertunjukan wayang hanya diisi dengan hiburan
semata, menyanyikan lagu-lagu dangdaut bahkan lagu pop, memasukan musik-musik
diatonis, menambah pelawak serta penyanyi dan sebagainya, yang disesalkan
adalah berlebihannya kreativitas dalang yang kurang memikirkan dampak yang akan
terjadi. Misalnya, seperti dalam pertunjukan wayang kulit dengan dalang Sri
Susila dari Klayutan Boyolali pada tanggal 15 Maret 2011 di desa Kopeng
Salatiga, pertunjukan wayang yang disajikan juga memasukan musik diatonis,
musik dangdut berikut penyanyi dangdutnya.
Melihat fenomena seperti ini,
seniman dalang kelas menengah ke bawah tidak bisa disalahkan begitu saja, karena
kejadian ini merupakan hal yang wajar-wajar saja dilakukan. Pertunjukan wayang
seperti itu merupakan wujud kreativitas seorang dalang, apalagi dalang dalam
berkreativitas bebas berkarya, hal demikian merupakan usaha dalang dalam
menuruti pangsa pasar. Mengapa dapat dikatakan dalang kelas menengah ke bawah
yang pertunjukan wayangnya hanya bersifat hiburan semata? Hal itu disebabkan
karena mereka harus memenuhi kebutuhan ekonomi mereka, sedangkan dalang-dalang
yang sudah populer dan mapan mereka mampu menjaga kualitas dan eksistensinya
pertunjukan wayangnya, karena mereka sudah tercukupi dalam hal kebutuhan
ekonominya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan dalang yang sudah populer
juga ikut masuk dalam pertunjukan wayang yang bersifat hiburan semata.
Berdasarkan pertunjukan wayang
dewasa ini makna tuntunan telah
mengalami perubahan serta pergeseran makna
menjadi tontonan, artinya
dalam pertunjukan tersebut tidak memiliki makna menuntun pada sesuatu hal yang
lebih baik justru hanya suatu panggung pertunjukann hiburan saja. Sehingga,
sebagai calon sarjana jurusan pedalangan tentunya turut prihatin dan harus ikut
memikirkan serta mampu mencetuskan bagaimana pertunjukan wayang agar tidak
semata-mata hanya untuk hiburan semata melainkan tetap memikirkan tentang
makna-makna dan nilai-nilai yang terkandung.
Tulisan ini agar terarah maka
dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
bentuk pertunjukan wayang dewasa ini yang lebih mengutamakan tuntutan hiburan
dan atau lahiriah semata?
2. Bagaimana
ide serta gagasan kreatif yang mampu menjadi solusi menghadapi tantangan global
dewasa ini?
Permasalahan
tersebut untuk mendapat solusinya tentu perlu merumuskan gagasan serta ide agar
pertunjukan wayang tetap berpijak pada ajaran serta nilai-nilai yang terkandung
dan tetap mampu berkompetisi dalam era globalisasi sekarang ini. Pertunjukan
wayang disajikan dengan konsep kreatif dan inovatif, kreatif artinya mampu
menciiptakan hal-hal baru yang dapat diterima oleh masyarakat mencakup pada
unsur-unsur garap pakeliran yaitu, sabet, catur dan karawitan pedalangan. Inovatif, artinya dalam menyusun karya
pertunjukan wayang mampu memberikan inovasi-inovasi baru dalam pementasannya,
hal ini dapat dilakukan pada bentuk, konsep, maupun sajian pertunjukan wayang
itu sendiri.
Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan kejadian tersebut, bahwa
pertunjukan wayang kulit dewasa ini hanya bersifat hiburan semata, tanpa
mempedulikan makna, nilai dan ajaran yang terkandung didalam pertunjukan
wayang, maka dengan gagasan serta ide-ide yang akan saya tulis besar harapan
tujuan dan manfaatnya, sehingga pertunjukan wayang kulit dewasa ini mampu
menjadi wahana apresiasi masyarakat dalam rangka pencerminan kehidupan
masyarakat.
Setelah itu, sekiranya pertunjukan wayang mampu menimbulkan dampak
maupun pengaruh nyata terhadap kehidupan manusia yang lebih baik bagi
masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Mengingat,
bahwa krisis moral saat ini merupakan bahaya laten yang tidak bisa dianggap
sebelah mata begitu saja.
Dengan demikian, pertunjukan wayang
kulit benar-benar merupakan kebudayaan agung dunia seperti yang telah diberikan
oleh UNESCO yang selayaknya dihargai, dilestarikan, dikembangkan serta mampu
menjadi suatu lambang atau identitas yang dapat dibanggakan di mata dunia.
Sehingga, pertunjukan wayang mampu menjadi tradisi kebudayaan yang memiliki
daya tarik tinggi baik nasional maupun internasional.
Telaah Pustaka
Persoalan
mengenai pertunjukan wayang kulit dewasa ini yang lebih mengutamakan tuntutan
hiburan semata, dan kurang memperhatikan nilai-nilai yang terkandung merupakan kajian yang sangat menarik.
Dalam hal ini, tentu telaah pustaka perlu dilakukan dengan sangat sistematis
agar mampu membantu penulisan ini.
Buku
Soetarno yang berjudul Wayang Kulit
Perubahan Makna Ritual dan Hiburan, dalam buku ini membahas tentang dalang
yang dulunya sangat memperhatikan nilai religius, estetis. Berbeda dengan
dalang sekarang yang lebih mengutamakan hiburan dan lebih terkesan glamour.
Dalam
buku Wayang Kulit dan Perkembangannya tuulisan
Soetarno dan Sarwanto hanya berupa deskripsi perkembangan pertunjukan wayang
dari tahun 1930-an hingga tahun 2000-an.
Buku
yang berjudul Industri Kreatif Berbasis
Tradisi dalam Era Globalisasi, yang ditulis oleh Ellya Zulaikha membahas
mengenai komodivikasi tokoh Punakawan dan Basiyo dalam karya visual di era
globalisasi.
Berdasarkan
beberapa tulisan diatas, penelitian tentang pertunjukan wayang kulit dewasa ini
yang lebih mengutamakan tuntutan hiburan semata, dan kurang memperhatikan
nilai-nilai yang terkandung ini belum
pernah dikaji oleh peneliti lain. Ini artinya bahwa pembahasan ini menjadi
penting keberadaanya sebagai khasanah perbendaharaan penelitian seni
pewayangan.
Landasan Teori
Pertanyaan
tentang pergeseran makna dan fungsi pertunjukan wayang dewasa ini yang terkesan
mengutamakan segi hiburan semata menunjukan
suatu paradigma yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu paradigma
perubahan. Disini dapat dilihat adanya perubahan kebudayaan dan perilaku
manusia dalam masyarakat dari keadaan tertentu ke keadaan yang lain. Menurut
Gillin, perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah
diterima yang disebabkan karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan
material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi atau pun
penemuan baru dalam masyarakat (Abdulsyani, 1994:163; Hendropuspito, 1989:256).
Dalam paradigma perubahan ini, penulis mencoba menempatkan pertunjukan wayang dewasa
ini sebagai kebudayaan yang mengalami perubahan paradigma
dari masyarakat pendukungnya.
Kasus
perubahan paradigma masyarakat terhadap pertunjukan wayang merupakan hal menarik, karena dapat diketahui dari mana datangnya
perubahan paradigma masyarakat serta bagaimana perbandingan perubahan dengan
stabilitas tata dan keajekan. Laeyendecker memberikan jawaban pada kejadian ini,
yaitu:
Pertama, masyarakat pada hakekatnya
adalah stabil, tetapi secara ajek muncul faktor pengganggu yang menyebabkan
perubahan; kedua, masyarakat pada hakekatnya berubah namun karena bergabungnya
berbagai faktor maka masyarakat tersebut kadang-kadang stabil untuk waktu yang
lama; ketiga, antara stabilitas dan perubahan merupakan dua sisi yang sama. Ini
artinya bahwa menimbulkan perubahan sama sukarnya dengan membendung perubahan
(1983:54).
Dalam
paradigma perubahan, baik yang sosiologis maupun antropologis, hal diatas
menunjukan suatu perubahan internal maupu eksternal. Dengan demikian, tulisan
ini secara tidak langsung menggunakan teori evolusi maupun teori difusi. Hal
ini, tercermin dari adanya perubahan paradigma masyarakat terhadap pertunjukan
wayang dalam era globalisasi. Antara
evolusi dan difusi pada pembahasan ini menjadi satu kesatuan yang sulit
terpisahkan (Linton, 1984:237).
Pertunjukan
wayang dewasa ini memiliki fungsi
individual dan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat, yang dimaksud fungsi
individu yaitu fungsi guna yang didalamnya menyangkut kebutuhan pribadi
seseorang, sedangkan fungsi sosial
merupakan fungsi yang melibatkan banyak orang, dalam konteks ini adalah masyarakat.
Soetarno menjelaskan:
Kehidupan modern atau dalam proses
modernisasi yang mengutamakan efisiensi membuat mobilitas masyarakat sangat
tinggi. Hal ini, tidak jarang membawa kehidupan tradisional tersisihkan, gejala
ini juga tampak dalam kehidupan kesenian. Upacara bersih desa yang memiliki
nilai estetis dan nilai ritual tidak luput dari pengaruh modernisasi.
(1995:66).
Metode Penulisan
Penelitian ini dimulai
dengan pengumpulan data tentang bentuk
pertunjukan wayang kulit dewasa ini yang lebih mengutamakan tuntutan hiburan
saja, dan kurang memperhatikan nilai-nilai yang terkandung melalui observasi langsung. Hal ini dimaksudkan agar peneliti
mendapatkan gambaran yang jelas mengenai paradigma masyarakat terhadap
pertunjukan wayang pada era globalisasi secara
langsung terjun ke lapangan.
Studi pustaka dimaksudkan untuk mencari
teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan pertunjukan wayang kulit dewasa
ini yang lebih mengutamakan tuntutan hiburan saja, dan kurang memperhatikan
nilai-nilai yang terkandung. Oleh karena itu, buku-buku tentang antropologi dan
sosiologi banyak dipakai dalam mengkaji permasalahan ini. Selain itu, studi
pustaka ini dimaksudkan untuk menunjukan orisinalitas tulisan yang dilakukan
dari berbagai penelitian yang telah ada.
Wawancara dilakukan secara mendalam
terhadap beberapa narasumber terpilih yang berkaitan dengan keterlibatannya
sesuai dengan permasalahan ini. Pemilihan narasumber ini didasarkan pada
beberapa pertimbangan, seperti tingkat keahlian, daya ingat, kesehatan, dan kecakapan.
Hal penting yang akan dijadikan narasumber, yaitu dalang, kritikus seni, dan
masyarakat pewayangan.
Penelitian
ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan ilmu-ilmu
sosial, seperti antropologi dan sosiologi, karena didalamnya membahas tentang
aspek perubahan dengan mengangkat paradigma perubahan sosial-budaya. Karena
sifat penelitian ini kualitatif, maka instrumen penelitian adalah peneliti
sendiri. Beberapa instrumen pendukung
yang digunakan yaitu tape-recorder, kamera foto. Selanjutnya, diadakan
analisis data yang meliputi latar belakang, pandangan masyarakat terhadap
pertunjukan wayang kulit dewasa ini yang lebih mengutamakan tuntutan hiburan
saja, dan kurang memperhatikan nilai-nilai yang terkandung, dan proses
terjadinya perubahan paradima masyarakat terhadap pertunjukan wayang dalam era
globalisasi.
B.
GAGASAN
Pertunjukan
Wayang Kulit Dewasa ini
Perubahan
pertunjukan wayang kulit dewasa ini yang dulunya lebih menekankan pada ekspresi
seniman dalang, makna dan nilai yang terkandung didalamnya sehingga pertunjukan
wayang kulit mampu menimbulkan kesan-kesan estetis dibatin manusia, dan saat
ini pertunjukan wayang kulit hanya menekankan pada sisi hiburan semata dapat
dikatakan adalah hal yang wajar dan logika untuk terjadi. Namun, yang
disayangkan adalah kelalaian seniman dalang dalam berkreativitas tanpa
memikirkan dampak dan akibat yang akan terjadi. Kondisi yang seperti sekarang
ini, Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa segala kebudayaan berada dalam krisis
oleh karena bertemu, bercampur aduk saling pengaruh dengan kebudayaan-kebudayaan
lain (Alisjahbana 1985:52). Dalam hal ini, jelaslah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta masuknya budaya-budaya barat di Indonesia yang
progresif, merupakan faktor-faktor perubahan pertunjukan wayang dewasa ini yang
berkembang di masyarakat, antara lain:
1. Pertunjukan
wayang kulit memasukan unsur-unsur baru dari musik-musik barat maupun musik
dangdut (gitar, keybord, drumd, ketipung dan masih banyak lagi).
2. Pertunjukan
wayang kulit menambahkan pemain-pemain baru, seperti pelawak, dagelan dan penyanyi
untuk menambah suasana pertunjukan semakin meriah.
3. Pertunjukan
wayang kulit memasukan teknologi-teknologi modern dalam pementasannya, seperti
menambahkan efek film, tata cahaya, dan sebagainya.
Perkembangan
diatas apabila diamati dari sisi berkesenian merupakan hal yang wajar-wajar
saja karena merupakan wujud kreativitas dalang. Akan tetapi, di sisi lain
pertunjukan tersebut telah melampaui batas sehingga merusak esensi dan makna
sesungguhnya yang terkandung dalam pertunjukan itu, bahkan pertunjukan wayang
dewasa ini lebih didominasi sisi hiburan saja. Hal demikian, secara tidak
langsung telah mengubah paradigma masyarakat dalam menikmati pertunjukan wayang
kulit, sungguh memprihatinkan.
Dalang Warsino dari Batu, Wonogiri
mengatakan, bahwa para dalang tenar itu selalu laris sehingga mereka kurang
menghayati dunia pakeliran, akibatnya
sajian pakelirannya hanya mengejar
bentuk lahir saja, kurang ekspresif dalam segala hal. Akan tetapi, Tristuti
Suryasaputra dalang senior dari Surakarta tidak menyalahkan mereka, sebab
orientasi dalang sekarang ini lebih ditujukan kepada kepuasan masyarakat luas
(Soetarno 2004:157). Sebenarnya, tidaklah masalah dari kedua anggapan dalang
senior tersebut memang demikian pada kenyataannya, masalahnya adalah
berlebihannya kreatif dalang sekarang tanpa memikirkan resiko yang akan terjadi
meliputi esensi maupun eksistensi pertunjukan wayang kulit itu sendiri. Menurut
seorang dalang yang saya wawancarai yaitu Ki. Joko “mengapa pertunjukan wayang
kulit anda lebih berorientasi pada bentuk hiburan semata?” jawabannya singkat
“karena itu pangsa pasar saat ini, kalau tidak begitu tidak laku”, mungkin
jawaban tersebut muncul karena saat ini pertunjukan seperti itu yang diinginkan
masyarakat dewasa ini yang lebih mengutamakan tuntutan lahir saja daripada
tuntutan batin.
Dengan
demikian pertunjukan wayang kulit dewasa ini yang telah berkembang
ditengah-tengah masyarakat, memang sudah banyak yang telah lepas dari
aturan-aturan terdahulu, yang masih menekankan makna dan nilai yang terkandung didalam
pertunjukan wayang.
Pertunjukan Wayang Kreatif Inovatif
sebagai Solusi Menghadapi Tantangan Global
Berdasarkan pertunjukan wayang
dewasa ini, untuk menghadapi tantangan global dan mampu menciptakan pertunjukan
yang masih mengandung nilai-nilai serta ajaran moral, maka munculah gagasan
serta ide-ide melakukan perubahan pertunjukan wayang kreatif, inovatif yang
tetap memperhitungkan dampak, akibat dan masa depannya, yaitu:
Kreatif,
menurut salah satu dosen pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
yaitu Blacius Subono “kreatif artinya sesuatu yang baru atau belum pernah ada, dan hal tersebut
berhasil serta diakui oleh masyarakat”, sedangkan Bambang Murtiyoso yang juga
merupakan dosen ISI Surakarta mengartikan bahwa kreatif adalah “sesuatu hal
yang baru tapi tidak sekedar baru”. Artinya, pertunjukan wayang yang didalamnya
memiliki garap pakeliran meliputi sabet (semua gerak wayang meliputi: tanceban, entas-entasan, ulap-ulap, cancut),
catur (bahasa dalang yang digunakan
dalam pertunjukan wayang meliputi: janturan,
pocapan dan ginem) dan iringan atau karawitan pedalangan meliputi sulukan,
dodogan, keprakan dan instrument
gamelan digarap atau diolah semenarik mungkin dengan hal-hal yang baru
sekiranya mempunyai daya tarik tinggi dan tetap bernilai.
Bentuk
kreatif dalam hal sabet, dalang mampu
memainkan wayang dengan sangat atraktif, artinya
garap sabet mengaplikasi dari
gerak-gerak akrobatik, karate, silat, gerak yang relevan dalam kehidupan nyata
dan lain-lain. Sebagai contoh, ketika perang antara tokoh wayang Anoman dengan
tokoh wayang Aswatama, gerakan Anoman saat menghajar Aswatama dapat
mengaplikasi dari gerak kera sungguhan, misalkan Anoman berpindah-pindah tempat
dari satu pohon ke pohon yang lain, sehingga penonton akan lebih tertarik untuk
menikmati pertunjukan tersebut.
Kreatif
dalam hal catur, artinya bahasa yang
digunakan dalam pertunjukan wayang menggunakan bahasa yang lebih mudah untuk
dimengerti masyarakat secara luas dan lebih komunikatif, mengingat bahasa dalam
pedalangan dewasa ini sulit untuk ditangkap oleh masyarakat awam. Misalnya,
dalam konteks pembicaraan antara tokoh wayang Duryudana dengan Sengkuni, dalam
adegan jejer Astina berdasarkan pakem (aturan
yang sudah disepakati dan sepaham secara
konvensional), di lingkungan Keraton Surakarta atau disebut dengan bahasa kedhaton, Duryudana memanggil Sengkuni
menggunakan kata “pakenira” dan
Duryudana menyebut dirinya menggunakan kata “manira”,
jika dalam pertunjukan wayang dewasa ini masih menggunakan bahasa kedhaton diatas, kemungkinan besar
masyarakat awam tidak dapat mengerti dan memahami makna dari kata tersebut.
Dengan demikian, agar bahasa dalang lebih mudah dimengerti, misalnya kata pakenira diganti dengan kata jenengsira atau jengandika, dan kata manira diganti
dengan kata jeneng ingsun atau ingsun. Sehingga, kata tersebut akan
lebih mudah dipahami jika dibandingkan dengan bahasa kedhaton.
Bentuk
kreativitas dalam hal iringan atau karawitan pedalangan yang meliputi sulukan, dan gendhing. Secara pakem jejer
Astina menggunakan iringan gendhing
Kabor, namun untuk menggambarkan keadaan Negara Astina dalam keadaan sedih
tentu gendhing Kabor kurang sesuai
dengan suasana, karena gendhing Kabor memiliki
suasana Agung, maka untuk memberikan kesan sedih gendhing yang digunakan adalah gendhing
Tlutur yang susunan gendhingnya membentuk
suasana sedih, sehingga dalam rangka membangun suasana sedih akan lebih
berkesan dalam hati sanubari penonton. Selain itu, dalam pertunjukan wayang
tidak harus menambahkan unsur-unsur seperti: penyanyi dangdut, musik dangdut,
musik pop, pelawak dan sebagainya, selama hal itu merusak cara pandang
masyarakat terhadap pertunjukann wayang, karena hal tersebut memiliki wilayah
yang berbeda. Sebenarnya seorang dalang cukup mengandalkan daya kreativitasnya
dalam mengolah dan menyusun karyanya sesuai dengan suasana yang diinginkan,
upaya tersebut sekiranya telah mampu diterima dan diminati masyarakat
pendukung pertunjukan wayang kulit.
Durasi
dalam pertunjukan wayang, bagi seorang dalang kreatif tentu perlu untuk
dipertimbangkan lagi, jika pertunjukan wayang disajikan selama semalam suntuk
sekitar tujuh jam, yaitu antara pkl. 21:00 sampai dengan pkl. 04:00,
untuk konsumen masyarakat dewasa ini tentu akan merasa jenuh, sehingga
meninggalkan pertunjukan wayang padahal pertunjukan tersebut belum selesai, hal
ini berakibat akhirnya penonton tidak mengetahui jalannya cerita secara
keseluruhan. Dengan demikian, perlu disiasati yaitu pertunjukan wayang hanya
disajikan selama empat atau lima jam saja, anatara pkl. 21:00 sampai dengan
pkl. 01:00, untuk mengurangi durasi pertunjukan wayang dapat dilakukan dengan
mengurangi adegan-adegan yang tidak penting dan kurang mendukung jalannya
cerita, misalnya adegan babak unjal,
gapuran, kedhatonan serta mengurangi eksistensi sisi hiburannya, sebagai
contoh adegan limbukan dan goro-goro tidak perlu menghabiskan waktu
sampai berjam-jam, sehingga pertunjukan tidak terkesan untuk senang-senang
saja. Dengan demikian, durasi yang lebih efisien
dan efektif tersebut maka
penonton akan lebih merasa betah untuk menikmati sajian tersebut, misalkan di
Taman Budaya Jawa Tengah menggelar pertunjukan wayang rutinan setiap malam
jumat kliwon sajian pakelirannya hanya
disajikan sekitar empat sampai lima jam, pada kenyataannya penonton masih
begitu banyak hingga pertunjukann wayang selesai.
Inovatif, artinya
melakukan inovasi atau pembaharuan pada karya tersebut dalam hal ini adalah
pertunjukan wayang kulit, hal ini sangat perlu dilakukan sebagai salah satu
cara menghadapi tantangan global. Kenyatannya,
masyarakat dewasa ini lebih cenderung menyukai hal-hal baru dan serba
instan atau siap saji. Hal ini, menunjukan bahwa masyarakat dewasa ini tidak
mau untuk berfikir hal-hal yang terlalu rumit. Sebagai contoh, masyarakat
dewasa ini lebih menyukai lagu-lagu pop daripada lagu-lagu tradisi atau lokal
seperti gendhing-gendhing jawa, karena
lagu pop lebih mudah untuk dimengerti karena tingkat kesulitannya lebih rendah
jiika dibandingkan dengan gendhinng-ggendhing
jawa, sebab untuk memahami makna
yang terkandung perlu melalui konntemplasi terlebih dahulu.
Melihat
kasus tersebut, agar pertunjukan wayang mampu bersaing dengan
kebudayaan-kebudayaan barat yang dewasa ini berkembang pesat dan progresif di
tengah-tengah masyarakat, maka kreativitas dalang sangat dituntut untuk
keeksisannya. Kenyatannya, hingga saat ini telah lahir berbagai macam bentuk
pertunjukan wayang inovatif yang sekarang mulai dikenalkan pada masyarakat.
Bentuk pertunjukan wayang yang muncul, antara lain:
1. Pakeliran Padat, dilihat dari
sisi bentuk mempunyai perbedaan dengan pakeliran
semalam. Dalam pertunjukannya, pakeliran
padat tidak berorientasi pada waktu, tetapi pada persoalan yang diungkapkan
melalui lakon(cerita) sehingga lama
penyajiannya tidak dapat ditentukan. Selain itu, mengenai susunan pathet apabila dalam pertunjukan semalam
berawal dari pathet nem, pathet sanga terakhir
patthet manyura, sedangkan pakeliran padat bebas untuk menentukan pathet disesuaikan dengan kebutuhan
adegan. Pencapaian maksud rasa adegan dan karakter tokoh wayang adalah tujuan
utama guna mencapai suatu rasa hayatan dari sebuah pertunjukan. Pemakaian gendhing-gendhing bebas untuk
menggunakan, misalkan memakai sulukan
gaya Yogya dan sebagainya.
2. Pakeliran Sandosa,
lahir di ASKI Surakarta yang sekarang ISI Surakarta. Sebuah karya baru,
pementasan menggunakan bahasa Indonesia, layar yang digunakan sangat lebar
serta bersifat elastis artinya dapat digerakkan kemana saja sesuai dengan
kebutuhan. Tidak hanya dilakukan oleh satu dalang melainkann oleh banyak
dalang. Bentuk susunan sajian dalam satu lakon
bebas tidak sama dengan pola pakem
pakeliran tradisi. Pada umunya, pelaku pertunjukan wayang terdiri atas
dalang, pengrawit, dan sinden. Hal demikian, berbeda dengan pelaku pertunjukkan
wayang sandosa yang terdiri atas sutradara, penyusun naskah, penata antawacana, sulih suara, narator, penata
sabet, peraga wayang, penata iringan,
pengrawit, pesinden, penata lampu dan teknisi sound system. Para pelaku
pertunjukan memiliki tugas dan kedudukan yang berlainan dalam suatu rangkaian
pertunjukan pakeliran sandosa.
Pembentuk pakeliran sandosa terdiri
dari unsur tradisional yang dipadukan dengan unsur baru. Beberapa unsur seperti
wayang, gamelann, kelir, dalang, sinden, pengrawit dalam pertunjukan wayang
tradisional masih digunakan, namun tidak dihadirkan dalam bentuk pakeliran sandosa. Sedangkan unsur baru
yang digunakan adalah lighting, bahasa
pengantar cerita dan teknik pengekspresiannya (Sunardi, 2004:22-23).
3. Wayang
Suket, dengan penciptanya yaitu Slamet Gundono yang merupakan alumni dari ISI
Surakarta. wayang suket berbeda dengan pertunjukan wayang pada umumnya, baik
dari bentuknya maupun sajiannya. Wayang suket wayang yang digunakan terbuat
dari suket dalam bahasa Indonesia
berarti rumput. Cerita yang digunakan dalam wayang suket berorientasi pada
kejadian masa kini atau up to date.
4. Wayang
Mlaku, merupakan komunitas baru yang didirikan oleh Catur Nugroho mahasiswa
pedalangan ISI Surakarta. pertunjukannya mengapliikasikan konsep wayang sandosa
dengan iringan kolaborasi antara musik pentatonis dengan musik diatonis.
Penggarapan cerita berdasarkan situasi yang relevan dengan keadaan jaman,
penyusunan cerita juga bersifat pendidikan (education).
Bentuk
pertunjukan wayang kreatif dan inovatif tentu masih banyak lagi seperti wayang
multimedia, wayang kampung sebelah dan tentu akan masih banyak lagi muncul
bentuk-bentuk baru. Mengingat, setiap dalang memiliki daya kreativitas yang
berbeda-beda dengan tingkatan yang bervariasi
pula. Perkembangan jaman yang begitu cepatnya, secara otomatis pertunjukan
wayang juga akan selalu responsif dan adaptif. Akan tetapi, satu hal yang perlu
diperhatikan para seniman khususnya dalang, dalam berkarya dan berkreativitas
jangan sampai pertunjukan yang dihasilkan lepas dari ajaran-ajaran, nilai-nilai
dan makna yang seharusnya termuat dalam pertunjukan wayang. Sehingga,
pertunjukan wayang tidak hanya bersifat hiburan semata, melainkan suatu karya
seni yang benar-benar memiliki daya tarik dan kualitas yang tinggi.
Seniman
khususnya dalang untuk melakukan beberapa langkah cara tersebut perlu memiliki
bekal yang cukup baik pengalaman, kemampuan, ketrampilan, keuletan, ketelitian
maupun daya kreativitas yang tinggi serta adanya rasa keberanian untuk maju.
Sehingga, pertunjukan wayang yang dihasilkan tidak hanya bersifatt hiburan
semata, melainkan tetap berpijak pada makna cerita pertunjukan wayang, dengan
demikian mampu berkesan dalam hati penghayat, dan mampu mempengaruhi membaiknya
krisis moral yang saat ini melanda bangsa Indonesia.
C.
KESIMPULAN
Pertunjukan
wayang dewasa ini semakin hari semakin ditinggalkan masyarakat pendukungnya.
Hal ini, perlu mendapat perhatian khusus agar pertunjukan wayang tidak akan
punah. Di satu sisi, hal ini akibat perkembanggan zaman yang mengglobal dan
secara tidak langsung mempengaruhi paradigma masyarakat terhadap pertunjukan
wayang. Oleh sebab itu, selayaknya mulai saat ini pertunjukan wayang harus
digarap dan diolah sedemikian menarik seperti dalam penggarapan sabet, catur, iringan, garap pakeliran dan bentuk kreativitas
diolah semenarik mungkin sehingga mampu membentuk pertunjukan yang benar-benar
krreatif, inovatif, atraktif, dan tetap bernilai. Sehingga, masyarakat akan
tetap setia menjadi pendukung pertunjukan wayang.
Gagasan
tersebut akan dapat tercapai apabila dilakukan sosialisasi serta perbincangan
secara mendalam terhadap seniman-seniman lainnya, khususnya dalang. Di samping
itu, juga meningkatkan intensitas pengembangan kelompok Wayang Mlaku serta bentuk wayang inovatif baru lainnya dengan
mengadakan pentas-pentas serta workshop sebagai
pijakan awal saya dalam mencapai dan merealisasikan gagasan ini.
Hal
tersebut akan dapat terwujud tentunya tidak terlepas dari turut serta
pemerintah dan pihak-pihak terkait, baik secara formal maupun informal, serta
dukungun penuh dari masyarakat sebagai pendukung pertunjukan wayang. Menurut
pendapat penulis seyogyanya pemerintah maupun lembaga mampu memberikan wujud
nyata guna mencapai ide serta gagasan tersebut. Lembaga dalam hal ini adalah
Institut Seni Indonesia Surakarta, merupakan lembaga tinggi yang memiliki
program studi Seni Pedalangan memiliki peran serta tanggung jawab yang besar
terhadap perkembangan maupun eksistensi pertunjukan wayang. Hal nyata yang
dapat dilakukan adalah, jurusan pedalangan Institut Seni Indonesia menggelar,
menyelenggarakan dan menjadi mediator sebuah wahana maupun ajang untuk
berkreativitas dalam hal pertunjukan wayang pada tingkat mahasiswa maupun
tingkat umum. Hal demikian, apabila mampu ditindak secara nyata kemungkinan
hasil yang akan diperoleh akan sangat besar. Selain melatih kreativitas seniman
dalang, juga mampu menjadi wujud respon dan inovasi pertunjukan wayang bagi
pendukungnya.
Pemerintah
seharusnya mampu menjadi motivator bagi seniman dalang, dan juga mampu menjadi
publikator pertunjukan wayang pada masyarakat. Peran pemerintah dapat
memberikan jaminan serta wadah bagi kreativitas dalang, sehingga ketika dalang
berkreativitas ada sesuatu hal bernilai yang akan diperoleh, ini dapat berwujud
sebuah penghargaan, atau pengakuan. Pemerintah hendaknya mampu mempromosikan
hasil karya kreativitas seniman dalang pada masyarakat secara luas baik tingkat
nasional maupun internasional.
Melakukan upaya
tersebut dampak dan manfaat yang akan dicapai tidaklah mudah begitu saja,
mengingat dewasa ini masyarakat sudah terlanjur kurang memperhatikan
pertunjukan wayang, terlebih generasi muda. Akan tetapi, jika gagasan tersebut
benar-benar memperoleh dukungan sepenuhnya baik dari pemerintah, lembaga,
maupun seniman-seniman dan turut serta masyarakat, maka perlahan tapi pasti
pertunjukan wayang kreatif, inovatif, atraktif, komunikatif dan tetap bernilai
akan cepat terwujudkan. Sehingga
masyarakat tidak akan meninggalkan pertunjukan wayang yang seyogyanya
mampu menjadi benteng ketahanan nasional pada era globalisasi dewasa ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdulsyani.
Sosiologi: Skematik, Teori, dan Terapan. Jakarta:
Bumi Aksara, 1994.
Alisjahbana,
S. Takdir, Seni dan Sastra di
Tengah-tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan, Jakarta: Dian Rakyat,
1985.
Hendropuspito
OC, D. Sosiologi Sistematik. Yogyakarta:
Kanisius, 1989.
Koentjaraningrat.
Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai
Pustaka, 1994.
---------------------.
Antropologi I. Jakarta: UI Press,
1996
Laeyendecker,
L. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan. Jakarta:
Gramedia, 1983.
Moleong,
I. Lexy. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1991.
Muhadjir,
Neong. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Rake Sarasin, 1991.
Murtiyoso,
Suyanto dan Sumanto. Teori Pedalangan, Surakarta:
ISI Surakarta, CV. Saka Production, 2007.
Soetarno, Sunardi dan Sudarsono. Estetika Pedalangan, Surakarta: CV. Adji
Surakarta bekerjasama dengan ISI Press, 2007.
Soetarno,
Wayang Kulit: Perubahan Makna Ritual dan
Hiburan, Surakarta: STSI Press, 2004.
Soetarno.
“Nilai-nilai Tradisional Versus Nilai-nilai Baru dalam Pertunjukan Wayang Kulit
Purwa Jawa Masa Kini”. Laporan Penelitian Sekolah Tinggi Seni Indonesia
Surakarta, 1997.
Soetarno.
Wayang Kulit Jawa. Surakarta: CV.
Cendrawasih, 1995.
Sudarko,
Pakeliran Padat Pembentukan dan
Penyebarannya, Surakarta: Citra Etnika, 2003.
Sunardi,
“Pakeiran Sandosa dalam Perspektif Pembaharuan Pertunjukan Wayang”, Tesis S-2
Program Pasca Sarjana STSI Surakarta, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar