2 Nov 2014

ASAL-USUL MITOS TOKOH SEMAR


ASAL-USUL MITOS TOKOH SEMAR

Oleh: Catur Nugroho


PENGANTAR

A.  Latar Belakang Masalah
Pertunjukan wayang kulit merupakan salah satu jenis kesenian yang cukup populer dan disenangi oleh sebagian masyarakat Jawa, khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pertunjukan wayang kulit diperkirakan sudah ada cukup lama, yaitu sejak abad ke-11 Masehi zaman Airlangga sebagaimana tercantum dalam Kakawin Arjuna Wiwaha pada bait 59 (Soetarno, 2011:3-4). Pertunjukan wayang kulit selalu dijadikan frame of reference oleh masyarakat dari masa ke masa (Murtiyoso, 1998:1-2). Epos Mahabharata dan Ramayana sebagai sumber pokok cerita pertunjukan wayang kulit purwa telah mengalami penyesuaian terhadap local genius. Aneka nilai (values) yang tidak sesuai dengan pola budaya Jawa juga mengalami perubahan pada arah nalar berpikir Jawa. Hal demikian, salah satunya dapat dilihat dari munculnya tokoh-tokoh baru yang tidak terdapat dari cerita aslinya. Hadirnya tokoh punakawan adalah implementasinya.
Punakawan dalam hal ini difokuskan terhadap punakawan para Pandawa dari kisah Mahabharata, karena banyak punakawan lainnya yang terdapat dalam berbagai versi cerita. Punakawan Pandawa terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Mereka adalah pelayan bagi tuannya (baca: Pandawa). Tokoh Semar adalah salah satu dari keempat punakawan tersebut yang memiliki banyak keistimewaan. Alasan inilah yang membuat tokoh Semar menjadi fokus kajian dalam tulisan ini. Kedudukkan Semar dapat dikatakan sangat berbeda dengan ketiga punakawan lainnya (Gareng, Petruk, dan Bagong) meskipun mereka sama-sama pembantu. Menurut Sumukti, Semar selalu hadir membawa solusi terhadap gara-gara (permasalahan) yang menimpa tuannya (2005:4). Dalam beberapa lakon Semar justru diperlakukan dengan sangat hormat, misalnya lakon Semar Mbangun Kahyangan, Lakon Semar Kuning, dan masih banyak lagi. Padahal secara umum dipahami bahwa kedudukkan pembantu sering kali tidak dihormati.
Pentingnya tokoh Semar bagi masyarakat Jawa tidak dapat dipisahkan dari vitalitas dan kapabilitas perannya dalam berbagai lakon wayang. Berdasarkan beberapa peristiwa tersebut peran Semar tampaknya menimbulkan kesan kontradiksi dan infersi. Semar yang biasanya hanya sebagai abdi (bawahan) kemudian hadir sebagai sosok yang begitu dimuliakan dan disegani oleh tuannya. Sumukti berpendapat bahwa tokoh Semar merupakan kebijaksanaan dalam pengertian daya pikiran manusia paling terkonsentrasi (2005:1). Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa Semar adalah pengejawantahan dewa Ismaya. Keistimewaan tokoh Semar inilah yang membuatnya mendapat ruang khusus bagi kehidupan sebagian masyarakat Jawa. Dia hadir baik secara lahir maupun batin. Secara lahir dapat dilihat bahwa tokoh Semar sering menghiasi rumah, baik dalam bentuk gambar, lukisan, kaligrafi, maupun patung, dan masih banyak lagi. Dalam hal religius, tokoh Semar juga hadir bagi aliran kepercayaan Sapta Dharma yang menjadikan Semar sebagai ideologi.
Berangkat dari beberapa fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai siapa sebenarnya tokoh Semar dan bagaimana asal-usul tokoh tersebut. Sebelum lebih jauh membahas tentang asal-usul tokoh Semar, maka perlu dipahami terlebih dahulu bahwa tokoh Semar dalam hal ini diasumsikan sebagai sebuah mitos. Hal ini menjadi penting karena berkaitan dengan metode serta pemaparan analisis dalam tulisan ini. Adapun penjelasan terkait asumsi tentang tokoh Semar sebagai sebuah mitos tersebut akan dijelaskan dalam sub bagian pembahasan. Oleh karena itu, penjelasan tentang asal-usul tokoh Semar tidak semata-mata dijelaskan secara diakronis, tetapi juga sinkronis, mengingat minimnya data tentang kapan dan di mana tokoh Semar muncul. Di samping itu, analisis historis tentang tokoh Semar ini nanti juga akan dikaitkan dengan relief-relief pada beberapa bangunan candi. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat transformasi-transformasi baik esensi maupun eksistensi dari tokoh Semar.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan tersebut agar pembahasan lebih terarah, maka dirumuskan masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana asal-usul tokoh Semar dalam cerita pewayangan?
2.      Bagaimana asal-usul mitos tokoh Semar dalam kehidupan masyarakat?
3.    Bagaimana perkembangan eksistensi dan esensi tokoh Semar dalam kehidupan masyarakat Jawa?


PEMBAHASAN

A.  Tokoh Semar Sebagai Mitos
Penjelasan tentang asal-usul tokoh Semar baik dalam cerita wayang maupun dalam kehidupan masyarakat Jawa sangat perlu dipaparkan terlebih dahulu mengenai asumsi tokoh Semar sebagai sebuah mitos. Dalam hal ini penulis mengacu pada pandangan Levi-Strauss, bahwa mitos tidak harus dipertentangkan dengan sejarah atau kenyataan, karena perbedaan makna dari dua konsep tersebut semakin sulit dipertahankan dewasa ini. Apa yang dianggap oleh suatu masyarakat sebagai sebuah sejarah atau peristiwa yang benar terjadi, ternyata hanya dianggap sebagai dongeng yang tidak harus diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang lain. Oleh karena itu, mitos sama dengan dongeng. Dongeng adalah sebuah cerita yang lahir dari imajinasi dan khayalan manusia, meskipun khayalan tersebut bersumber dari kehidupan masyarakat sehari-hari (Ahimsa, 2013:77).
Berangkat dari pemikiran tersebut maka tokoh Semar dapat diasumsikan sebagai sebuah mitos atau dongeng. Asumsi ini paling tidak didasarkan atas dua hal sebagaimana disampaikan oleh Ahimsa atas dongeng Umar Kayam yang coba penulis simpulkan, yaitu: (1) dongeng muncul sebagai realisasi dari sebuah upaya untuk memahami peristiwa dahsyat yang sulit untuk dihadapi; dan (2) dongeng lahir dari imajinasi dan interpretasi  individu pemilik mitos tersebut (Ahimsa, 2013:260).
Implikasi dari pendapat tersebut, pertama, bahwa tokoh Semar adalah realisasi dari nalar pikir masyarakat kecil yang selalu berupaya memahami peristiwa yang rumit dalam kehidupannya. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa tokoh Semar oleh sebagian masyarakat Jawa adalah representasi dari wong cilik. Wong cilik (rakyat kecil) ini beberapa beranggapan bahwa mereka merasa tertindas oleh kepentingan kekuasaan. Oleh karena itu, muncul lakon-lakon wayang yang merepresentasikan suara rakyat kecil yang diwujudkan pada tokoh Semar, misalnya, Lakon Semar Mbabar Jatidiri, Lakon Semar Mbangun Gedhong Kencana, dan sebagainya. Kedua, tokoh Semar lahir dari budaya asli mitologi nusantara[1] (Mulyono, 1982:115). Artinya, tokoh Semar merupakan imajinasi dan interpretasi individu masyarakat Nusantara. Menurut Ahimsa, walaupun kita tidak tahu bagaimana sebuah mitos lahir di tengah masyarakat, namun kita tidak dapat mengingkari fakta bahwa mitos lahir melalui individu-individu tertentu. Mitos tidak begitu saja muncul dari langit. Pencipta mitos tetaplah manusia (“Si Pendongeng”) yang juga melibatkan dirinya dalam kehidupan masyarakatnya (Ahimsa, 2013:260).

B.  Asal-usul Tokoh Semar Dalam Cerita Pewayangan
Pembahasan mengenai asal-asul tokoh Semar penulis membagi menjadi dua bagian, pertama, asal-usulnya dalam cerita atau lakon wayang; kedua, asal-usulnya dalam kebudayaan masyarakat yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya. Pembagian ini bertujuan agar tidak terjadi tumpang-tindih dalam memahami asal-usul Semar. Dalam hal ini dipaparkan terlebih dahulu mengenai asal-usul tokoh Semar, setelah itu ditampilkan cerita turunnya Semar ke dunia dalam lakon pertunjukan wayang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
Sang Hyang Wenang memiliki putra yaitu Sang Hyang Tunggal yang memiliki istri Dewi Rekatawati. Pada suatu hari Rekatawati melahirkan sebutir telur. Di hadapan Sang Hyang Wenang telur tersebut menetas dengan sendirinya dan menjadi tiga makhluk. Ketiga makhluk tersebut adalah Tejamantri yang muncul dari kulit telur, kemudian Ismaya yang berasal dari putih telur, dan Manikmaya terjadi dari kuning telur. Suatu ketika terjadi perdebatan antara Tejamantri, Ismaya, dan Manikmaya, mereka berebut posisi yang kelak menggantikan ayahnya sebagai penguasa. Manikmaya kemudian menantang perlombaan, yaitu menelan gunung dan memuntahkannya kembali. Tejamantri sebagai yang tertua melakukannya dulu tetapi gagal[2]. Berikutnya Ismaya yang melakukannya dan berhasil menelannya tetapi tidak dapat memuntahkannya sehingga perutnya menjadi besar. Peristiwa ini menimbulkan gara-gara sehingga Sang Hyang Wenang datang. Pada akhirnya, Sang Hyang Wenang menetapkan bahwa pada waktunya nanti Manikmaya akan menjadi raja paradewa, penguasa surga dan neraka, dan menurunkan penduduk di bumi. Adapun Semar dan Tejamantri harus turun ke bumi untuk memelihara keturunan Manikmaya. Keduanya hanya diperbolehkan mengahadap Sang Hyang Wenang apabila Manikmaya bertindak tidak adil. Sejak itu Sang Hyang Wenang mengganti nama mereka, Manikmaya menjadi Batara Guru, Tejamantri menjadi Togog, dan Ismaya menjadi Semar (Sumukti, 2005:20-21; Mulyono, 1982:53-55).
Kisah tersebut kemudian berlanjut dengan turunnya tokoh Semar di dunia. Semar turun di bumi terjadi pada zaman Resi Kanumayasa seorang pendeta di Saptaarga. Suatu ketika, ada orang cebol bernama Samarasanta (Semar) lari di tengah-tengah hutan karena dikejar dua ekor macan. Pelariannya hingga sampai di wilayah Saptaarga. Kanumayasa yang melihat penderitaan Samarasanta kemudian menolongnya dengan meruwat macan tersebut. Setalah diruwat, macan tersebut berubah menjadi dua bidadari yang cantik jelita, yang tua bernama Dewi Kanastren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Akhirnya Dewi Kanastren menjadi jodoh Semar. Adapun Dewi Retnawati menjadi jodoh Kanumayasa. Semenjak peristiwa tersebut Samarasanta kemudian mengabdi (nyantrik) pada sang resi (Purwadi, 2007:258).
Berdasarkan paparan tersebut kemudian oleh para dalang digarap sedemikian rupa menjadi sebuah lakon wayang. Lakon-lakon tentang asal-usul dan turunnya Semar ini kemudian menjadi berbagai versi nama, misalnya Lakon Laire Semar, Lakon Tumuruning Janggan Samarasanta, Lakon Semar Ngejawantah, dan masih banyak lagi. Meskipun muncul berbagai versi nama tentang asal-usul Semar, tetapi inti cerita dan isi yang disampaikan mayoritas sama, tidak banyak terjadi perubahan. Seandainya terjadi perubahan biasanya hanya sebatas pembagian struktur adegan saja, mengingat dalang memiliki kebebasan penuh untuk mengekspresikan daya kreativitasnya.

C.  Asal-usul Mitos Tokoh Semar Dalam Kehidupan Masyarakat
Strategi atau metode yang digunakan untuk mengetahui asal-usul mitos tokoh Semar dalam kehidupan Masyarakat dapat ditelusuri dan dikaji melalui tiga sumber data, yaitu: (1) data kesusasteraan; (2) data relief; dan (3) data lisan (oral). Melalui langkah-langkah tersebut diharapkan dapat membantu menyusun konstruksi diakronis yang cukup baik mengenai asal-usul mitos tokoh Semar.
1.  Semar dalam kesusasteraan.
Semar dalam Kitab Sudamala. Menurut Van Stein Callenfels dalam disertasinya sebagaimana dikutip oleh Mulyono, bahwa Kitab Sudamala dengan tegas telah menyebut nama Semar. Hal ini dapat dilihat pada penggalan bait ke-39 dari kitab tersebut.
PunSmar hamuwus mangke, hatarimengsun kakang matur ring sang mahadibya mangko, haglis ni Putut matura, ring sang maharesi mangke”.
Artinya:
“Kata-kata dari Putut berbunyi” Inilah Semar yang terhormat, yang diberikan oleh sang pertapa yang baik kepada anda. Sampaikanlah penghormatanku, terimakasihku kepada sang pertapa” (Mulyono, 1982:15-19).
Berdasarkan kutipan tersebut bahwa tokoh Semar paling tidak telah ada sejak zaman Majapahit, yaitu abad ke-XV sebagaimana Kitab Sudamala tersebut ditulis. Namun demikian, perlu dikritisi lagi bahwa masih terdapat sumber lain yang tampaknya lebih tua dari Kitab Sudamala yang juga menampilkan nama tokoh Semar, yaitu Kitab Gatutkacasraya.
Semar dalam Kitab Gatutkacasraya. Kitab Gatutkacasraya merupakan karya empu Panuluh pada tahun 1110 Jawa atau 1188 Masehi. Kitab tersebut juga menampilkan nama “Jurudyah Prasanta Punta” (Mulyono, 1982:21). Nama ‘Jurudyah Prasanta’ ini masih sering dipakai oleh para dalang ketika mendeskripsikan dasanama[3] tokoh Semar.
Berdasarkan penjelasan tersebut menunjukkan bahwa mitos tokoh Semar telah ada sejak dulu, yaitu sekitar abad ke-XI. Dalam hal ini perlu disampaikan pula bahwa menurut Hazeu sebagaimana dikutip oleh Mulyono, tokoh Semar adalah asli berasal dari Indonesia. Dia tidak berasal dari India, dan Semar sama sekali tidak merepresentasikan peranan India. Terlebih perannya yang sekarang, di mana dia hadir bersama nasehat-nasehatnya sebagai sosok pembantu yang dihormati oleh tuannya para Pandawa (1982:25-26).

2.  Semar dalam relief.
Mitos tentang asal-usul tokoh Semar juga dapat dilacak dengan mengamati beberapa relief pada bangunan candi. Berdasarkan pengamatan dapat dilihat bahwa terdapat relief tokoh abdi atau punakawan yang mengikuti tuannya dalam bangunan candi Jago dan candi Tegowangi. Candi Jago dibangun pada masa pemerintahan Kertanegara raja di Kerajaan Singosari. Pembangunan candi diperkirakan berlangsung selama kurang lebih 12 tahun (1268M-1280M). Candi Jago dibangun sebagai pendarmaan bagi Wisnu­wardhana yang merupakan ayah dari Kertanegara. Relief yang terpahat dalam dinding bangunan candi Jago adalah cerita Tantri Kamandaka, Kunjarakarna, Anglingdharma, Parthayajna dan Arjuna Wiwaha (Ciptaning) (http://candi.pnri.go.id/jawa_timur/jago/jago.htm; http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Jago). Adapun relief punakawan terdapat pada bagian cerita Parthayajna (Pandawa Dadu). Di dalam relief tersebut tergambar empat sosok abdi di bawah yang di antaranya memiliki badan pendek dan gemuk. Sayangnya tidak ada sumber yang menjelaskan secara pasti tentang deskripsi kedua tokoh abdi tersebut. Namun demikian, apabila relief tersebut diperhatikan secara seksama dapat ditafsirkan bahwa keempat abdi tersebut adalah punakawan Pandawa. Tafsir ini berdasarkan atas bentuk salah satu punakawan tersebut yang memiliki hidung panjang, yaitu tokoh Petruk. Artinya, ketiga tokoh lainnya adalah Semar, Gareng, dan Bagong. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa tokoh Semar sudah ada pada sekitar abad ke-XIII.
Adapun candi Tegowangi dibangun pada akhir abad ke-XIV atas perintah raja Hayam Wuruk (http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Tegowangi). Adanya relief tentang Sudamala mengindikasikan bahwa tujuan dari dibangunnya candi tersebut adalah untuk upacara ruwatan. Di dalam relief Sudamala tergambar dua tokoh yang tampaknya adalah seorang abdi. Salah satunya memiliki badan gemuk dan pendek seperti halnya bentuk tokoh Semar. Apabila merujuk pada isi Kitab Sudamala yang menuliskan bahwa di dalamnya terdapat tokoh Semar, maka dapat ditafsirkan bahwa relief abdi tersebut salah satunya menggambarkan tokoh Semar. Dengan demikian, lagi-lagi tokoh Semar hadir pada sekitar akhir abad ke-XIV pada masa raja Hayam Wuruk.

3.  Semar dalam tradisi lisan (oral)
Data tentang asal-usul mitos tokoh Semar juga dapat dilihat pada sumber data lisan. Meskipun jumlahnya tidak begitu banyak dan kredibilitas data cukup minim, tetapi dalam hal ini tetap dipaparkan sebagai referensi untuk melakukan reduksi dengan mengkomparasikannya terhadap data-data lain. Sebagaimana dituliskan oleh Soetarno, bahwa kemunculan tokoh Semar diuraikan dalam tradisi lisan yang telah tertulis  dalam Serat Centhini dan Serat Sastramiruda. Dijelaskan bahwa tokoh wayang Semar dibuat zaman Mataram pada masa pemerintahan Panembahan Senapati. Selain wayang Semar, juga dibuat wayang lainnya seperti Bagong, Cenguris, Cantrik, keris, dan panah. Peristiwa ini tampaknya terjadi pada sekitar abad ke-XVI. Hal ini didasarkan atas penanda yang dibuat dalam serat tersebut, yaitu tahun 1541 (Soetarno, 2007:15). Berdasarkan sumber ini dapat ditafsirkan bahwa tokoh Semar muncul dalam kehidupan masyarakat yang direalisasikan dalam bentuk wayang kulit.
Sebelum menganalisis perkembangan eksistensi dan esensi tokoh Semar dalam kehidupan masyarakat dipaparkan terlebih dahulu mengenai kehadiran tokoh Semar dalam dunia batin orang Jawa. Keistimewaan karakter tokoh Semar ternyata mendapat ruang khusus dalam sistem religius bagi sebagian masyarakat Jawa, khususnya aliran kepercayaan ‘Sapta Dharma’. Menurut Hadiwijono sebagaimana dikutip oleh Mulyono bahwa di Jawa terdapat suatu aliran kebatinan yang menggunakan simbol tokoh Semar yakni aliran Sapta Dharma. Simbol tersebut berupa:
a.       Belah ketupat yang menggambarkan asal manusia. Sudut atas menggambarkan ‘sinar cahaya Allah’, sudut bawah menggambarkan ‘sari bumi’, sedangkan sudut kanan, dan sudut kiri menggambarkan ‘perantaraan terjadinya manusia’.
b.      Garis tepi belah ketupat menggambarkan badan manusia.
c.       Dasar belah ketupat berwarna hijau muda yaitu penggambaran hawa atau getaran.
d.      Di dalam belah ketupat terdapat segitiga sama sisi yang terbagi ke dalam tiga segi sama sisi dan empat lingkaran sepusat berwarna putih yang menggambarkan terjadinya manusia dari tritunggal (bapa:sperma, ibu:telur, dan sinar cahaya Allah).
e.       Segitiga-segitiga tersebut memiliki sembilan sudut yang artinya penggambaran sembilan lubang manusia.
f.       Empat lingkaran sepusat masing-masing berwarna hitam, merah, kuning, dan putih yang menggambarkan empat hawa nafsu manusia, yaitu amarah, supiyah, aluwamah, dan mutmainah.
g.      Gambar Semar terdapat pada lingkaran pusat berwarna putih yaitu menggambarkan lubang kesepuluh manusia yang terletak di ubun-ubun.
h.      Gambar Semar memiliki arti budi luhur. Tangan kiri Semar memegang sesuatu yang artinya memiliki rasa yang mulia dan memiliki sabda yang kuasa. Kampuh lipatan lima yang dikenakan oleh Semar menggambarkan bahwa ia menjalankan Panca Sila Allah.
i.        Tulisan Sapta Dharma tertera di dalam belah ketupat yang berarti tujuh kewajiban. Selain itu, juga tertulis napsu, budi, dan pakarti yang menggambarkan kepribadian manusia (Mulyono, 1982:35-37).
‘Wahyu Sapta Dharma’ diterima oleh Hardjosapuro pada Jumat tanggal 27 Desember pukul satu malam di Desa Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Berangkat dari fenomena ini dapat ditafsirkan bahwa Semar hadir dalam sistem kepercayaan sebagian orang Jawa, yaitu aliran Sapta Dharma. Salah satu hal yang dapat diambil dari peristiwa ini, yaitu mereka percaya bahwa Semar ‘ada’ atau ‘nyata’. Terlepas dari apakah benar atau tidak, tetapi yang jelas Semar telah menimbulkan sugesti hingga orang Jawa begitu panatik terhadapnya, dan inilah faktanya.

D.  Perkembangan Eksistensi dan Esensi Tokoh Semar Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa
Perkembangan eksistensi dalam hal ini adalah penjelasan tentang ‘keberadaan’ tokoh Semar di dalam kehidupan masyarakat berdasarkan pemaparan-pemaparan data sebelumnya. Hal ini berpijak pada angka tahun dan angka abad. Asumsi sederhananya, bahwa ketika suatu benda (data arkeologi) menampilkan representasi tentang tokoh punakawan dan/atau tokoh Semar berarti pada tahun itu pula keberadaan Semar telah ada.
Berdasarkan sumber data baik kesusasteraan, relief, maupun lisan dapat ditarik sebuah diacronic historical description, bahwa Semar telah ada sejak abad ke-XI sebagaimana terdapat dalam Kitab Gatutkacasraya. Selantunya keberadaan tokoh Semar terdapat di relief candi Jago dalam cerita Parthayajna pada abad ke-XIII. Keberadaannya juga tampil pada relief candi Tegawangi dalam cerita Sudamala pada abad ke-XIV. Tokoh Semar juga terdapat dalam Kitab Sudamala pada abad ke-XV. Sekitar abad ke-XVI pada masa pemerintahan Panembahan Senapati di Mataram lahir tokoh wayang Semar. Setelah tahun-tahun tersebut keberadaan mitos tokoh Semar masih ada hingga sekarang. Implikisasi dapat dilihat dari hadirnya dalam aliran Sapta Dharma, tampilnya dalam pertunjukan lakon wayang, muncul dalam berbagai ornamen. Artinya keberadaan tokoh Semar masih bertahan hingga saat ini. 
   

         Adapun mengenai perkembangan esensi tokoh Semar menunjukkan perubahan atau pergeseran peran. Apabila diamati awalnya peran Semar tidak lebih dari sosok abdi atau pembantu. Meskipun dalam berbagai sumber tidak menyatakan secara pasti peran Semar, tetapi di situ juga tidak menyebutkan bahwa tokoh Semar hadir dengan nasehat-nasehatnya. Artinya, dapat ditafsirkan bahwa punakawan Semar hanya seperti atau bahkan sama dengan kedudukkan abdi. Namun demikian, tafsir ini bisa kurang tepat apabila kemudian ditemukan data lain yang menyebutkan secara pasti bahwa sejak awal peran tokoh Semar memang lebih dari sekedar abdi. Selanjutnya, apabila dilihat perkembangannya hingga saat ini peran Semar telah mengalami perubahan. Semar hadir sebagai lambang kebijaksanaan baik dalam cerita wayang maupun kehidupan masyarakat Jawa. Kehadirannya membawa kedamaian bagi yang mendengarkannya. Secara implisit dapat kita lihat dalam aliran Sapta Dharma, ornamen-ornamen, lakon-lakon wayang tentang Semar di mana esensi Semar adalah sugesti yang mengarahkan terhadap keserdahanaan yang penuh dengan kebijaksanaan sebagai sebuah panutan hidup.

PENUTUP

Kesimpulan
Berbagai penjelasan tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, tokoh Semar adalah sebuah mitos yang lahir dari imajinasi nenek moyang Indonesia sebagai pemilik dongeng tersebut. Kedua, dalam cerita wayang tokoh Semar lahir dari sebutir telur yang dilahirkan oleh Dewi Rekatawati istri Sang Hyang Tunggal. Tokoh Semar kemudian ditugaskan ke dunia untuk mengasuh para kesatriya. Turunnya tokoh Semar di dunia terjadi pada zaman resi Kanumayasa di Saptaarga. Ketiga, berdasarkan data kesusasteraan, relief, dan lisan menunjukkan bahwa keberadaan mitos Semar sudah ada sejak abad ke-XI dan tetap eksis hingga sekarang. Oleh karena itu, periodesasi penjelasan sejarah mitos Semar ini dimulai dari abad ke-XI hingga sekarang. Keempat, esensi tokoh Semar juga menunjukkan perubahan. Awalnya semar tampak hanya seperti abdi atau punakawan, tetapi sekarang Semar lebih dari sekedar abdi, dia adalah lambang kebijaksanaan yang menuntun pada kesederhanaan hidup.
Berdasarkan kesimpulan tersebut penulis masih menyadari bahwa analisis di sini masih jauh dari sempurna. Minimnya data serta tersebarnya data yang saling tumpang-tindih menimbulkan kesulitan bagi penulis dalam mengklasivikasi serta menginventarisasikannya. Penulis berharap pembahasan tentang asal-usul mitos Semar ini masih bisa diperbaiki dan dilanjutkan oleh siapapun.


DAFTAR ACUAN

Kepustakaan
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press, 2013.
Mulyono, Sri. Apa dan Siapa Semar. Jakarta: Gunung Agung, 1982.
Murtiyoso, Bambang. “Mengenal Karya Baru Wayang Layar Lebar Sandosa”, Gatra, No. XVIII. Jakarta: Senawangi, 1998.
Purwadi. Seni Pedhalangan Wayang Purwa. Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007.
Soetarno, Sarwanto, dan Sudarko. Sejarah Pedalangan. Surakarta: ISI Press, 2007.
Soetarno. Teater Nusantara. Surakarta: ISI Press, 2011.
Sumukti, Tuti. Semar Dunia Batin Orang Jawa. Yogyakarta: Galangpress, 2005.



Internet
“Perpustakaan Nasional Republik Indonesia: Candi di Indonesia; Candi Jago” dalam http://candi.pnri.go.id/jawa_timur/jago/jago.htm. Diunduh pada tanggal 21 Januari 2014.




[1]Penjelasan mengenai tokoh Semar sebagai produk nusantara akan dijelaskan pada sub bagian berikutnya tentang asal-usul tokoh Semar dalam kehidupan masyarakat.
[2]Ada versi yang menyebutkan bahwa Tejamantri hanya berhasil menelan sampai mulut hingga akhirnya mulut Tejamantri menjadi lebar.
[3]Dasanama: dasa sama dengan sepuluh; nama sama dengan nama. Artinya, sebutan nama yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar