15 Jan 2014

KARAKTER TOKOH TRIPAMA SEBAGAI PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER BAGI MAHASISWA



KARAKTER TOKOH TRIPAMA
SEBAGAI PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER BAGI MAHASISWA



Disusun oleh:
                                                                     Catur Nugroho

   
INSTITUT SENI INDONESIA
SURAKARTA
2011


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Seni pedalangan khususnya wayang kulit purwa merupakan sebuah seni yang kompleks, artinya dalam pertunjukannya terdapat berbagai hal penting yang terkandung baik itu nampak secara nyata atau hanya tersirat saja dalam sajian perjalanan cerita wayang tersebut. Beberapa hal penting atau unsur wigati yang terdapat dalam pertunjukan wayang baik itu cerita, tokoh, karakter maupun struktur dramatik alur lakon, secara hakiki bagi yang menyadari semuanya berorientasi terhadap pesan-pesan moral yang ingin disampaikan dalang kepada penonton atau penghayatnya.
Ajaran moral yang terkandung dalam pertunjukan wayang memang mencakup banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia, seperti kita ketahui bahwa pertunjukan wayang merupakan refleksi dari kehidupan manusia. Sehingga, antara makna dan pesan dalam pertunjukan wayang dengan kehidupan manusia secara disadari atau tidak memang saling mempengaruhi. Nilai-nilai yang terkandung dalam pertunjukan wayang diantaranya, ialah: (a)nilai kepahlawanan, (b)nilai sosial, (c)nilai kesetiaan dan masih banyak lagi.
Berbagai nilai-nilai moral kemanusian dan sosial memang cukup inti dalam pertunjukan wayang, hingga makna atau pesan dalam pertunjukan wayang masih begitu ditekankan atau diutamakan, sehingga pertunjukan wayang sering disebut sebagai tuntunan. Akan tetapi, seiring perkembangan jaman yang kian mengglobal dan sangat erat bersentuhan dengan kehidupan manusia berikut budayanya, disatu sisi memang memacu loncatan drastis pada arah kemajuan tapi disisi lain justru memundurkan sesuatu hal yang dianggap kurang up to date atau dianggap sebagai hal yang kuno, dalam hal ini adalah kebudayaan tradisi termasuk pertunjukan wayang. Hal ini, memang tidak bisa diartikan dari paradigma sebelah mata saja karena keduanya antara tradisi dan pengaruh global memang sebuah fenomena yang secara nyata terjadi dan harus dihadapi, sehingga dewasa ini banyak pertunjukan wayang yang hanya lebih menampilkan pada sisi hiburan saja, sebab manusia sekarng lebih menyukai hal-hal yang instan dan mudah dimengerti, dengan kata lain sekarang sering disebut wayang sebagai tontonan. Laeyendecker memaparkan, bahwa pertama, masyarakat pada hakekatnya adalah stabil, tetapi secara ajek muncul faktor pengganggu yang menyebabkan perubahan; kedua, masyarakat pada hakekatnya berubah namun karena bergabungnya berbagai faktor maka masyarakat tersebut kadang-kadang stabil untuk waktu yang lama; ketiga, antara stabilitas dan perubahan merupakan dua sisi yang sama. Ini artinya bahwa menimbulkan perubahan sama sukarnya dengan membendung perubahan(1983:54). Justru permasalahannya adalah bagaimana kita, atau lebih penulis tekankan bagaimana seorang mahasiswa menyikapi fenomena ini?, jawaban ada ditangan kita sebagai seorang mahasiswa.
Berdasarkan pandangan subyektivitas penulis mahasiswa adalah sosok yang sangat berpengaruh bagi maju dan mundurnya sebuh negara secara umum, dan secara khusus kebudayaan tradisi diantaranya adalah pertunjukan wayang. Sebab, mahasiswa adalah generasi muda yang nantinya akan memimpin dan membawa bangsa ini kearah kemajuan tentunya. Sebagai contoh, seorang mahasiswa pedalangan ketika masih menjalani studi atau setelah selesai studi pada dasarnya memiliki peran yang cukup penting untuk kelestarian dan perkembangan wayang. Sehingga beban yang dipikul oleh seorang mahasiswa memang sangat berat, namun akhir-akhir ini berdasarkan pengamatan penulis mengenai realita kehidupan mahasiswa memang sedikit banyak terdapat hal-hal yang cukup memprihatinkan. Dewasa ini banyak mahasiswa yang sering bertindak anarkis, emosi yang tak terkendali dan sering melakukan hal-hal yang merusak tatanan, seperti: mabuk, narkoba dan sebagainya. Kejadian tersebut, hampir setiap hari menghiasi mata kaita ketika melihat siaran berita pada sebuah stasiun televisi. Disamping itu, sebagian mahasiswa atau generasi muda saat ini terlalu mudah atau kurang selektif dalam menerima kebudayaan barat, yang mungkin kurang sesuai dengan kebudayaan tradisi, sehingga kebudayaan tradisi harus tersisih secara perlahan.
Fenomena tersebut memang bukan menjadi topik yang baru, artinya dari dulu permasalahan mengenai kenakalan mahasiswa sudah menjadi hal yang biasa, hanya intensitasnya saja yang membedakan bah dewasa ini menurut pandangan penulis lebih meningkat intensitasnya, sehingga hal ini cukup mengkhawatirkan tentunya bagi kita semua. Fenomena tersebut, sekilas memang kurang menyambung dengan konteks pedalangan, namun jika kita benar-benar mau meresapi, memahami dan merenunginya ternyata semua kejadian tersebut memiliki benang merah dengan dunia pedalangan. Dewasa ini, dengan semakin maraknya pergaulan bebas dan budaya asing dalam kalangan mahasiswa yang kurang pas dengan kebudayaan kita, ternyata juga berimbas terhadap dunia pedalangan. Hal ini, nampak jelas ketika mahasiswa dewasa ini yang lebih menganggap kebudayaan barat adalah sesuatu yang modern dan patut dilakukan, dan kebudayaan tradisi yang didalamnya terdapat pertunjukan wayang dianggap kuno dan malu untuk dilakukan, ini nampak bahwa kebanyakan anak muda dewasa ini menurut pandangan penulis kurang begitu antusias terhadap pertunjukan wayang.
Dewasa ini, mulai ngetren dengan istilah pendidikan karakter, artinya dari semua fenomena diatas banyak yang beranggapan permasalahan dasar pada mahasiswa atau generasi bangsa bersumbu pada karakter seseorang. Hipotesa penulis, lemahnya karakter yang dimiliki seseorang akan sangat mempengaruhi terhadap sikap dan perilaku untuk bertindak. Pendidikan karakter itu sendiri yang sekarang mulai ditekankan oleh pemerintah terdiri dari empat pilar penting yang seharusnya dijadikan sebagai sebuah pegangan, yaitu: (1)Undang-Undang Dasar 1945, (2)Pancasila, (3)Bhineka Tunggal Ika dan (4)NKRI. Sehingga, dari fenomena ini akan penulis hadapkan serta kolerasikan dengan dunia pewayangan, karena nilai yang terkandung dalam pertunjukan wayang sementara ini masih sangat relevan untuk dijadikan sebuah perspektif pada pendidikan karakter mahasiswa, dengan harapan mampu membantu memperbaiki karakter mahasiswa atau generasi muda menjadi lebih baik. Sebab, seperti kita ketahui bahwa dalam pertunjukan wayang terkandung ajaran-ajaran moral yang sangat adi luhung sehingga apabila kita benar-benar meresapi dan melaksanakannya tentu akan memiliki manfaat yang besar dalam kehidupan ini.
Nilai yang terkandung dalam pertunjukan wayang terdapat dalam berbagai aspek, diantaranya dalam tokoh wayang, alur cerita dan pengkarakteran tokoh. Sesuai dengan tema ini penulis akan mengangkat mengenai tokoh wayang yang disebut dengan istilah Tripama, istilah ini yang mencipkan adalah KGPAA Mangkoenegara IV yang tertulis dalam Serat Tripama dan KGPAA Mangkoenegara IV adalah pengarang dari buku tersebut. Tripama merupakan bahasa jawa yang berarti, Tri adalah tiga dan pama ialah perumpamaan yang artinya tiga tokoh baik yang menjadi sebuah perumpamaan atau contoh karakter yang memiliki nilai bijaksana tinggi untuk ditiru atau dicontoh.
Tripama itu terdiri dari tiga tokoh wayang, yaitu: (1)Sumantri, (2)Kumbakarna dan (3)Basukarna. Ketiga tokoh tersebut menurut KGPAA Mangkoenegara IV adalah tokoh yang memiliki jiwa atau karakter yang sangat bagus, sehingga patut untuk dicontoh dan ditiru bagi kita khususnya generasi muda atau mahasiswa. Sehingga, jiwa yang dimiliki oleh tokoh Tripama tersebut mampu dijadikan sebuah perspektif pendidikan karakter. Perspektif itu sendiri merupakan sebuah pandangan, artinya tulisan ini berisi penggambaran tokoh Tripama yang seyogyanya mampu dijadikan sebuah pandangan dan tauladan yang baik bagi kita semua khususnya mahasiswa.

B.     Perumusan masalah
Pembahasan ini agar terarah maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimana penjelasan mengenai karakter tokoh Tripama?
2.      Bagaimana tokoh Tripama sebagai perspektif pendidikan karakter bagi mahasiswa?
Rumusan permasalahan tersebut akan dibahas secara jelas, serta akan menambahkan beberapa hal lainnya yang terkait maupun memiliki kolerasi terhadap topik pembahasan tulisan ini.
C.    Tujuan penulisan
Pembahasan dalam makalah ini memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai, tujuan ini penulis bagi dalam dua hal, yaitu:
a.       Tujuan umum
1.      Memperoleh gambaran yang jelas mengenai penjelasan serta penggambaran karakter tokoh Tripama.
2.      Mengetahui tentang karakter tokoh Tripama apabila diaplikasikan sebagai sebuah perspektif pendidikan karakter bagi mahasiswa.
b.      Tujuan Khusus
Penulisan makalah ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir semester mata kuliah Seminar Pedalangan II.

D.    Manfaat penulisan
Kontribusi dari penulisan ini adalah menambah perbendaharaan kajian mengenai pertunjukan wayang dalam pengaplikasiannya terhadap lingkungan sosial, termasuk dalam hal ini adalah mampu memperoleh penjelasan mengenai karakter tokoh Tripama dan mampu mengapresiasi bagi pembaca maupun khalayak luas, bahwa dalam pertunjukan wayang terkandung makna yang berharga bagi kehidupan manusia. Sehingga, dari tulisan ini pembaca khususnya bagi mahasiswa mampu mengaplikasikan karater tokoh Tripama dalam pendidikan karakternya.


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Tokoh Tripama
Tokoh Tripama merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh KGPAA Mangkoenegara IV dalam bukunya yang berjudul Serat Tripama, namun pada kesempatan ini penulis tidak menemukan buku asli dari Serat Tripama tersebut dan hanya mengacu pada buku yang ditedhak dan kababar oleh Ki. Tentrem Warsena. Tokoh Tripama terdiri dari tiga tokoh wayang yaitu Sumantri, Kumbakarna dan Basukarna, sesuai dengan istilah Tripama yaitu Tri adalah tiga dan pama adalah perumpamaan baik yang sepatutnya dijadikan tauladan. Ketiga karakter tokoh tersebut dalam Serat Tripama disampaikan dalam bentuk tembang macapat yaitu Dandanggula. Pembahasan tokoh Tripama akan penulis bahas satu per satu dari ketiga tokoh tersebut, penjelasannya sebagai berikut:
a.      Tokoh Sumantri
Suwanda atau Sumantri adalah tokoh dalam cerita Ramayana, Sumantri merupakan anak Begawan Suwandagni dari pertapan Jatisrana. Sumantri memiliki adik yang bernama Sukrasana, keduanya saling mencintai dan menyayangi meskipun Sukrasana berwujud raseksa atau buta bajang dan Sumantri berparas tampan namun Sumantri tetap tulus mengasihi Sukrasana. Sumantri sejak kecil sudah mendapatkan berbagai ilmu wigati dari ayahnya Begawan Suwandagni, hingga setelah dewasa Sumantri memiliki tekad untuk mengabdi kepada Prabu Harjuna Sasrabahu. Perjalanan Sumantri ketika akan mengabdi dengan Prabu Harjuna Sasrabahu inilah yang menurut KGPAA Mangkoenegara IV merupakan karakter tokoh wayang yang patut untuk dijadikan suri tauladan, sehingga oleh KGPAA Mangkoenegara IV ditulislah ini kedalam Serat Tripama pupuh Dandanggula, sebagai berikut:

Yogyanira kang para prajurit,
Lamun bisa sira hanulada,
Duk ing nguni caritane,
Andelira sang parbu,
Sasrabahu ing Mahespati,
Aran Patih Suwanda,
Lelabuhanipun,
Kang ginelung tri pakara,
Guna kaya purune kang den antebi,
Nuhoni trah utama.


Lire lelabuhan tri prakawis,
Guna: bisa saneskareng karsa,
Binudi dadya unggule,
Kaya: sayektinipun,
Duk mbantu prang Manggada Nagri,
Hamboyong putri dhomas,
Katur ratunipun,
Purune sampun tetela,
Aprang tandhing lan ditya Ngalengka Aji,
Suwanda mati ngrana.



Tembang diatas secara garis besar berisi tentang karakter dan tekad yang dimiliki Sumantri ketika akan mengabdi dengan Prabu Harjuna Sasrabahu, penulis menggaris bawahi kata atau cakepan dalam tembang tersebut yang juga ditekankan oleh KGPA Mangkoenegara IV yaitu kata Guna, kaya  dan purun.
Guna memiliki arti bahwa Sumantri memiliki karakter yang penuh tanggung jawab dan mampu melaksanakan tugas dengan lancar, mampu membuat solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapinya atau permasalahan pada bangsanya. Hal ini, nampak ketika Sumantri diutus Prabu Harjuna Sasrabahu untuk memboyong Dewi Citrawati dari Magada, akhirnya Sumantri mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik.
Kaya atau dalam bahasa Indonesia berarti kekayaan, memiliki arti bahwa Sumantri memiliki kaya yang cukup baik secara jasmani maupun rohani. Secara jasmani Sumantri kaya akan kemampuan olah batin, kaya akan rohani selain pandai dalam ilmu perang juga nampak ketika Sumantri mampu membedhah Manggada kemudian memperoleh putri dhomas dan raja brana semua diserahkan pada Prabu Harjuna Sasrabahu, jelas ini menggambarkan karakter Sumantri yang ikhlas menyerahkan semua kekayaan yang dimilikinya pada Prabu Harjuna Sasrabahu sebagai Raja yang sangat Sumantri hormati.
Purun dalam bahasa Indonesia berarti mau atau bersedia, artinya Sumantri memiliki karakter yang ikhlas dan tulus dalam melaksanakan semua tanggung jawabnya. Kesanggupan yang tulus dari dalam hati Sumantri inilah yang patut kita contoh sebagai sebuah karakter yang mulia.
Ketiga inti dari karakter yang dimiliki Sumantri tersebut apabila disimpulkan, artinya Sumantri adalah tokoh yang memiliki karakter setia atau mengandung nilai kesetiaan. Hal ini, sangat nampak dalam jiwa Sumantri ketika dia baru mengabdi pada Harjuna Sasrabahu dan akhirnya harus gugur oleh Rahwana semua dilakukan atas dasar kesetiaannya kepada Harjuna Sasrabahu.

b.    Tokoh Kumbakarna
Tokoh Kumbakarna juga masuk dalam salah satu tokoh Tripama, artinya menurut KGPA Mangkoenegara IV terdapat karakter baik dalam diri Kumbakarna yang juga patut untuk dijadikan cantoh. Kumbakarna adalah tokoh wayang yang terdapat dalam serat Ramayana, Kumbakarna merupakan adik dari Rahwana raja Alengka, Kumbakarna juga memiliki adik yang bernama Gunawan dan Sarpakenaka. Mengenai jiwa Kumbakarna berdasarkan asumsi KGPA Mangkoenegara IV disuratkan dalam Serat Tripama pupuh Dandanggula sebagai berikut:

Wonten malih tuladhan prayogi,
Satriya gung nagri ing Ngalengka,
Sang Kumbokarna arane,
Tur iku warna diyu,
Suprandene nggayuh utami,
Duk wiwit prang Ngalengka,
Denya darbe atur,
Mring raka mrig raharja,
Dasamuka tan kengguh ing atur yekti,
De mung mungsuh wanara.

Kumbakarna kinen mangsah jurit,
Mring kang raka sira tan nglenggana,
Nglungguhi kasatriyane,
Ing tekad datan sujud,
Amung cipta labuh Nagari,
Lan nolih yayah rena,
Myang leluhuripun,
Wus mukti aneng Alengka,
Mangke arsa rinusak ing bala kapi,
Punagi mati ngrana.

Tembang Dandanggula diatas secara garis besar memiliki arti bahwa Kumbakarna adalah tokoh yang memiliki karakter atau jiwa kesatriya (jw: jiwa utama). Hal ini nampak, ketika Kumbakarna selalu berusaha menasihati Rahwana agar mengembalikan Sinta kepada Rama, sebab Sinta adalah milik Rama. Apabila, Rahwana tetap ingin memiliki Sinta dengan cara yang demikian maka bagaimannapun juga Rahwana berada dalam posisi yang salah, dalam bahasa jawa ada istilah yang menyebutkan: “sapa sing dhisiki cidra, wahyune bakal sirna”. Akan tetapi, Rahwana sama sekali tidak menggubris perkataan Kumbakarna, hingga akhirnya Kumbakarna pergi dari Alengka dan melakukan Tapa Nendra untuk mendapatkan petunjuk dari sang Ilahi.
Perang akhirnya terjadi antara Alengka dengan bala kera prajurit dari Prabu Rama, setelah prajurit Alengkka sudah terosak-asik oleh pasukan prabu Rama, lalu Rahwana menyuruh Indrajid anaknya agar membangunkan Kumbakarna bahwa perang sudah terjadi dan menyuruh Kumbakarna untuk berperang, sebab jika Kumbakarna tak mau perang maka tak lama lagi Alengka akan dihancurkan oleh Rama dan prajuritnya. Pada awalnya, Kumbakarna tetap menolak untuk berperang melawan Prabu Rama, namun karena Kumbakarna memiliki jiwa kesatriya dan nasionalisme yang tinnggi akhirnya Kumbakarna maju perang menghadapi bala kera. Perlu diingat, bahwa Kumbakarna ketika berperang ini sama sekali bukan membantu Rahwana yang jelas-jelas berada dipihak yang salah melainkan membela bangsanya atau tanah kelahirannya beserta leluhurnya yang telah membesarkan Kumbokarna dan mendirikan bangsa Alengka.
Penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Kumbakarna memiliki karakter yang tanggung jawab, rela berkorban dan mengedepankan jiwa nasionalismenya. Sehingga, kisah mengenai tokoh Kumbakarna ini mengandung nilai kepahlawanan dan patriotisme yang sangat baik untuk ditiru bagi kita khususnya mahasiwa sebagai generasi muda penerus bangsa.

c.       Tokoh Basukarna(Suryaputra)
Tokoh basukarna atau ketika masih muda bernama Suryaputra merupakan tokoh yang juga termasuk dari tokoh Tripama menurut KGPA Mangkoenegara IV, tokoh Basukarna adalah anak dari Dewi Kunthi dengan Batara Surya. Akan tetapi, karena Basukarna adalah anak yang tercipta diluar ikatan resmi maka akhirnya Basukarna dibuang ke sungai hingga akhirnya ditemukan oleh kusir dari Astina bernama Adirata yang kemudian membesarkan Suryaputra hingga dewasa dan menjadi Senopati di Astina. Berikut tembang dandanggula yang berisi mengenai Basukarna:
Wonten malih kinarya palupi,
Suryaputra Narpati Ngawangga,
Lan pandhwa tur kadange,
Len yayah tunggil ibu,
Suwita mring Kurupati,
Aneng Nagri Ngastina,
Kinarya gul-agul,
Manggala golongganing prang,
Bratayuda ingadeken senapati,
Ngalaga ing kurawa.
         
Den mungsuhken kadange pribadi,
Aprang tandhing lan Sang Dananjaya,
Sri Karna suka manahe,
De nggonira pikantuk,
Marga denya arsa males sih,
Ira sang Duryudana,
Marmanta kalangkung,
Denya ngetog kasudiran,
Aprang rame Karna mati jinemparing,
Sumbaga wirutama.

Berdasarkan tembang macapat tersebut pada intinya berisi tentang tokoh Suryaputra yang juga patut untuk dijadikan contoh bagi kita, hal demikian dapat kita lihat dari pengorbanan Basukarna terhadap Duryudana dan negara Astina yang talah memuliakan hidupnya. Pengorbanan yang dilakukan Basukarna adalah ketika dia tetap maju perang Baratayuda dipihak Kurawa dan harus melawan Pandawa yang jelas-jelas Karna mengetahui bahwa Pandawa masih saudaranya sendiri, sama-sama anak dari Dewi Kunthi. Namun, semua tentunya dilakukan Basukarna dengan penuh pertimbangan, Basukarna lebih memilih dipihak Kurawa daripada Pandhawa karena menurut Basukarna Kurawa adalah sosok yang menerima Basukarna apa adanya hingga akhirnya mengangkat Karna mejadi Senapati.
Sikap yang diambil oleh Basukarna ini menggambarkan bahwa Basukarna adalah tokoh yang memiliki karakter tanggung jawab, jiwa striya dan tidak melupakan jasa atau kebaikan orang lain. Hal ini, nampak jelas bahwa pembelaan Karna dipihak Kurawa karena disatu sisi selain membela tanah yang telah membesarkannya, Karna juga merasa berhutang budi pada Duryudana yang telah menerima Karna apa adanya hingga akhirnya Karna mampu hidup makmur di Astina dan menjadi Senapati dipihak Kurawa, sehingga Karna memiliki tanggung jawab harus membalas budi semua kebaikan yang telah diberikan Duryudana kepadanya. Nilai yang terkandung adalah nilai Kepahlawanan dan kesetiaan.
2.      Tokoh Tripama sebagai perspektif pendidikan karakter bagi mahasiswa
Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita ketahui mengenai karakter tokoh Tripama yang pada dasarnya ketiga tokoh tersebut memiliki karakter yang sangat mulia, artinya sangat pantas untuk dijadikan suri tauladan. Nilai yang dapat diambil diantaranya: nilai kepahlawanan, nilai kesetiaan, nasionalisme, pengorbanan dan jiwa kesatriya yangg selalu diutamakan. Nilai-nilai inilah yang menurut penulis sangat relavan apabila dikolerasikan sebagai perspektif pendidikan karakter bagi mahasiswa dewasa ini khususnya, sebab seperti di awal tadi penulis menerangkan bahwa peranan mahasiswa atau generasi muda sangat berpengaruh besar bagi kemajuan atau kemundurun suatu bangsa.
Pendidikan karakter secara garis besar teridi dari empat pilar, yaitu: UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dan NKRI. Keempat pilar tersebut pada hakikatnya adalah sebuah pedoman atau idealisme yang seharusnya memang menjadi sebuah impian yang sangat perlu dilakukan tindakan secara nyata. Pendidikan karakter yang terdiri dari empat pilar utama tersebut berdasarkan asumsi penulis seorang mahasiswa perlu mencontoh dan menjadikan karakter-karakter tokoh Tripama sebagai sebuah perspektif pendidikan karakter.
Tokoh Sumantri, adalah tokoh yang memiliki karakter percaya diri, tanggung jawab, pemberani, jiwa kesatriya yang tinggi dan rela berkorban. Karakter tokoh Sumantri inilah yang hendaknya mampu ditiru oleh mahasiswa dewasa ini, berkaitan dengan pendidikan karakter hendaknya seorang mahasiswa harus memiliki karakter tanggung jawab, artinya tanggung jawab terhadap tugas yang dimilikinya dan menjalankannya dengan benar, pemberani artinya mahasiswa harus selalu berani seperti Sumantri dalam menghadapi segala rintangan maupun halagan yang dihadapinya dan mampu memberikan sebuah solusi, sehingga keberadaan mahasiswa benar-benar mampu menjadi penerang bagi masyarakat. Seorang mahasiswa juga harus memiliki karakter rela berkorban, rela berkorban ini tentunya dapat dihubungkan dengan empat pilar utama tadi yaitu pilar mengenai NKRI, seorang mahasiswa harus rela berkorban untuk menjaga keutuhan NKRI entah itu dalam wujud apapun. Sumantri yang selalu menjujunjung tinggi kesetiaan terhadap Rajanya juga dapat kita contoh dengan selalu bertindak sesuai dengan aturan-aturan yang telah ada.
Berikutnya adalah tokoh Kumbakarna yang sepantasnya juga kita jadikan contoh, sebab tokoh Kumbakarna adalah tokoh yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi. Hendaknya karakter seperti ini selalu tertanam dalam diri mahasiswa, rasa nasionalisme dapat diwujudkan dengan selalu menjaga perdamainan, menjunjung tinggi idealisme bangsa seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Sebab, akhir-akhir ini nasionalisme mulai kurang diperhatikan sehingga ini menjadi tanggung jawab besar bagi mahasiswa. Wujud nyata nasionalisme juga dapat dilakukan dengan turut mendukung serta mencintai aset-aset bangsa termasuk kebudayaan tradisi yang didalamnya terdapat pertunjukan wayang. Rasa Nasionalisme juga harus selalu dimiliki mahasiswa seni khususnya mahasiswa pedalangan yang selalu mencintai pertunjukan wayang dan menjadi tokoh pelestari budaya seni pewayangan, sehingga seni pertunjukan wayang tidak akan tergeser dengan derasnya budaya barat yag kurang sesuai dengan kebudayaan kita. Tokoh  Kumbakarna memiliki pedoman bahwa “daripada harus menyerah ditangan penjajah, lebih baik mati menjadi kusuma bangsa”, dari pernyataan ini tentunya kita mampu mengambil nilai nasionalisme dalam diri Kumbakarna untuk kita aplikasikan sebagai mahasiswa khususnya mahasiswa seni(pedalangan) agar selalu berjuang secara sungguh-sungguh menjaga keutuhan serta melestarikan kebudayaan tradisi yang didalamnya terdapat pertunjukan wayang.
Tokoh terakhir dalam Tripama adalah Basukarna, seperti penjelasan diatas kita telah memperoleh simpulan bahwa tokoh Basukarna adalah tokoh yang memiliki jiwa kepahlawanan, kesetiaan, selalu mengingat jasa orang lain serta keteguhan hati yang tinggi. Karakter ini, juga mampu dijadikan perspektif bagi mahasiswa khususnya adalah mahasiwa seni pedalangan. Seorang mahasiswa hendaknya memiliki jiwa kepahlawanan yang tinggi, hal ini dapat dilakukan  dengan selalu menjaga persatuan dan kesatuan kemajemukan bangsa seperti yang terdapat dalam empat pillar utama pada pendidikan karakter yaitu “Bhineka Tunggal Ika”. Seorang mahasiswa pedalangan hendaknya juga menempatkan karakter Basukarna yang selalu membela negaranya kedalam mind set mahasiswa sehingga setiap tindakan yang dilakukan akan selalu berorientasi terhadap rasa cintanya terhadap wayang untuk selalu menjaga, melestarikan dan mengembangkannya.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai tokoh Tripama dalam Serat Tripama tulisan KGPA Mangkoenegara IV sebagai perspektif pendidikan karakter bagi mahasiswaa ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tokoh Tripama yang didalamnya terdiri dari Tokoh Sumantri, Kumbakarna dan Karna adalah tokoh yang masing-masing memiliki karakter mulia dan baik untuk dijadikan contoh dalam kehidupan kita. KGPA Mangkoenegoro IV yang secara kemampuan sastra sudah tidak diragukan lagi. M      enurut asumsi penulis KGPA Mangkoenegara IV mampu menyusun Serat Tripama secara objektif dan disiplin. Intisari karakter mulia yang dimiliki ketiga tokoh tersebut mampu disuratkan secara indah dalam wujud tembang yang sangat menarik untuk diresapi dan dilaksanakan. Tembang yang berisi tentang karakter ketiga tokoh tersebut yang telah dijelaskan pada pembahasan diatas menurut penulis telah menghasilkan pernyataan-pernyataan mengenai karakter ketiga tokoh tersebut, yaitu:
Tokoh Sumantri memiliki karakter pemberani, tanggung jawab, setia, rela berkorban dan berjiwa satria tinggi. Hal ini, nampak jelas dalam kisah Sumantri ketika akan mengabdi pada Harjuna Sasrabahu yang kemudian diterima hingga akhirnya harus mati demi Harjuna Sasrabahu. Kisah ini menggambarkan sebuah nilai yang sangat bagus untuk dicontoh.
Tokoh Kumbakarna dalam pembahasan diatas dapat diisimpulkan bahwa Kumbakarna adalah tokoh yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi, hal ini nampak jelas ketika Kumbakarna rela gugur dalam peperangan demi tanah kelahirannya yaitu Alengka yang sudah membesarkan jiwa raganya dan bukan membela Rahwana. Kisah ini mampu memberikan inspirasi bagi kita bahwa walaupun Kumbakarna berwujud raseksa, namun tindakan serta perilaku yang dimiliki oleh Kumbakarna adalah layaknya seorang satria tama. Artinya, kita jangan selalu menilai orang hanya dari luarnya saja melainkan lihatlah dari dalam hatinya yang sesungguhnya itu adalah aslinya.
Tokoh Suryaputra atau Basukarna dalam Serat Tripama tersebut dan setelah dilakukan pembahasan, tokoh Basukarna adalah tokoh yang memiliki karakter pemberani serta bertanggungjawab terhadap semua yang telah diucapkan. Artinya, Basukarna sudah mengatakan bahwa dia tetap akan membela Kurawa karena Basukarna mampu hidup menjadi seorang yang berharga semua juga berkat dari Kurawa yang menerima Karna apa adanya. Disamping itu, Basukarna juga merasa bahwa dia hidup di Negara Ngastina sehingga nasionalisme dalam dirinya juga muncul untuk ikut membela Ngastina dari ancaman mungsuh meskipun itu Pandawa. Tekad bulat yang dimiliki Karna untuk berbalas budi kepada Duryudana inilah yang juga merupakan perilaku bijaksana yang juga patut untuk dijadikan tauladan.
Ketiga tokoh tersebut apabila dikolerasikan dengan pendidikan karakter bagi mahasiswa tentunya dapat terjalin relevansi yang cukup bermanfaat apabila benar-benar mau meresapi, memahami dan melaksanakannya. Seorang mahasiswa seyogyanya mampu menjadikan karakter-karakter yang dimiliki tokoh Tripama sebagai perspektif atau pandangannya dalam memperbaiki karakter masing-masing individu yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sosial. Sebagai seorang mahasiswa atau generasi muda yang nantinya memimpin banggsa ini, karakter yang dimiliki oleh tokoh Tripama merupakan sebuah pandangan penting yang wajib untuk diketahui dan lebih baiknya mampu melaksanakannya. Tentu pelaksanaannya juga sesuai dengan kompetensi serta bidang masing-masing, penulis yakin dari nilai-nilai yang terkandung dalam karakter tokoh Tripama tersebut selalu bisa untuk diaplikasikan kepada bidang maupun kompetensi apapun, yang membedakan hanya terletak dari wujud serta tindakan yang harus dilakukan, namun secara konsep nilai yang mulia sementara ini masih sangat relevan untuk dilakukan terlebih dijaman sekarang ini.



 

DAFTAR PUSTAKA

Laeyendecker, L. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan. Jakarta: Gramedia, 1983.
Murtiyoso, Sumanto, Suyanto dan Kuwato. Teori Pedalangan, Surakarta: CV. Saka Production kerja sama dengan ISI Surakarta, 2007.
Soetaro, Sunardi dan Sudarsono. Estetika Pedalangan, Surakarta: CV. Adji Surakarta bekerjasama dengan ISI Press, 2007.