2 Nov 2014

ASAL-USUL MITOS TOKOH SEMAR


ASAL-USUL MITOS TOKOH SEMAR

Oleh: Catur Nugroho


PENGANTAR

A.  Latar Belakang Masalah
Pertunjukan wayang kulit merupakan salah satu jenis kesenian yang cukup populer dan disenangi oleh sebagian masyarakat Jawa, khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pertunjukan wayang kulit diperkirakan sudah ada cukup lama, yaitu sejak abad ke-11 Masehi zaman Airlangga sebagaimana tercantum dalam Kakawin Arjuna Wiwaha pada bait 59 (Soetarno, 2011:3-4). Pertunjukan wayang kulit selalu dijadikan frame of reference oleh masyarakat dari masa ke masa (Murtiyoso, 1998:1-2). Epos Mahabharata dan Ramayana sebagai sumber pokok cerita pertunjukan wayang kulit purwa telah mengalami penyesuaian terhadap local genius. Aneka nilai (values) yang tidak sesuai dengan pola budaya Jawa juga mengalami perubahan pada arah nalar berpikir Jawa. Hal demikian, salah satunya dapat dilihat dari munculnya tokoh-tokoh baru yang tidak terdapat dari cerita aslinya. Hadirnya tokoh punakawan adalah implementasinya.
Punakawan dalam hal ini difokuskan terhadap punakawan para Pandawa dari kisah Mahabharata, karena banyak punakawan lainnya yang terdapat dalam berbagai versi cerita. Punakawan Pandawa terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Mereka adalah pelayan bagi tuannya (baca: Pandawa). Tokoh Semar adalah salah satu dari keempat punakawan tersebut yang memiliki banyak keistimewaan. Alasan inilah yang membuat tokoh Semar menjadi fokus kajian dalam tulisan ini. Kedudukkan Semar dapat dikatakan sangat berbeda dengan ketiga punakawan lainnya (Gareng, Petruk, dan Bagong) meskipun mereka sama-sama pembantu. Menurut Sumukti, Semar selalu hadir membawa solusi terhadap gara-gara (permasalahan) yang menimpa tuannya (2005:4). Dalam beberapa lakon Semar justru diperlakukan dengan sangat hormat, misalnya lakon Semar Mbangun Kahyangan, Lakon Semar Kuning, dan masih banyak lagi. Padahal secara umum dipahami bahwa kedudukkan pembantu sering kali tidak dihormati.
Pentingnya tokoh Semar bagi masyarakat Jawa tidak dapat dipisahkan dari vitalitas dan kapabilitas perannya dalam berbagai lakon wayang. Berdasarkan beberapa peristiwa tersebut peran Semar tampaknya menimbulkan kesan kontradiksi dan infersi. Semar yang biasanya hanya sebagai abdi (bawahan) kemudian hadir sebagai sosok yang begitu dimuliakan dan disegani oleh tuannya. Sumukti berpendapat bahwa tokoh Semar merupakan kebijaksanaan dalam pengertian daya pikiran manusia paling terkonsentrasi (2005:1). Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa Semar adalah pengejawantahan dewa Ismaya. Keistimewaan tokoh Semar inilah yang membuatnya mendapat ruang khusus bagi kehidupan sebagian masyarakat Jawa. Dia hadir baik secara lahir maupun batin. Secara lahir dapat dilihat bahwa tokoh Semar sering menghiasi rumah, baik dalam bentuk gambar, lukisan, kaligrafi, maupun patung, dan masih banyak lagi. Dalam hal religius, tokoh Semar juga hadir bagi aliran kepercayaan Sapta Dharma yang menjadikan Semar sebagai ideologi.
Berangkat dari beberapa fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai siapa sebenarnya tokoh Semar dan bagaimana asal-usul tokoh tersebut. Sebelum lebih jauh membahas tentang asal-usul tokoh Semar, maka perlu dipahami terlebih dahulu bahwa tokoh Semar dalam hal ini diasumsikan sebagai sebuah mitos. Hal ini menjadi penting karena berkaitan dengan metode serta pemaparan analisis dalam tulisan ini. Adapun penjelasan terkait asumsi tentang tokoh Semar sebagai sebuah mitos tersebut akan dijelaskan dalam sub bagian pembahasan. Oleh karena itu, penjelasan tentang asal-usul tokoh Semar tidak semata-mata dijelaskan secara diakronis, tetapi juga sinkronis, mengingat minimnya data tentang kapan dan di mana tokoh Semar muncul. Di samping itu, analisis historis tentang tokoh Semar ini nanti juga akan dikaitkan dengan relief-relief pada beberapa bangunan candi. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat transformasi-transformasi baik esensi maupun eksistensi dari tokoh Semar.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan tersebut agar pembahasan lebih terarah, maka dirumuskan masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana asal-usul tokoh Semar dalam cerita pewayangan?
2.      Bagaimana asal-usul mitos tokoh Semar dalam kehidupan masyarakat?
3.    Bagaimana perkembangan eksistensi dan esensi tokoh Semar dalam kehidupan masyarakat Jawa?


PEMBAHASAN

A.  Tokoh Semar Sebagai Mitos
Penjelasan tentang asal-usul tokoh Semar baik dalam cerita wayang maupun dalam kehidupan masyarakat Jawa sangat perlu dipaparkan terlebih dahulu mengenai asumsi tokoh Semar sebagai sebuah mitos. Dalam hal ini penulis mengacu pada pandangan Levi-Strauss, bahwa mitos tidak harus dipertentangkan dengan sejarah atau kenyataan, karena perbedaan makna dari dua konsep tersebut semakin sulit dipertahankan dewasa ini. Apa yang dianggap oleh suatu masyarakat sebagai sebuah sejarah atau peristiwa yang benar terjadi, ternyata hanya dianggap sebagai dongeng yang tidak harus diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang lain. Oleh karena itu, mitos sama dengan dongeng. Dongeng adalah sebuah cerita yang lahir dari imajinasi dan khayalan manusia, meskipun khayalan tersebut bersumber dari kehidupan masyarakat sehari-hari (Ahimsa, 2013:77).
Berangkat dari pemikiran tersebut maka tokoh Semar dapat diasumsikan sebagai sebuah mitos atau dongeng. Asumsi ini paling tidak didasarkan atas dua hal sebagaimana disampaikan oleh Ahimsa atas dongeng Umar Kayam yang coba penulis simpulkan, yaitu: (1) dongeng muncul sebagai realisasi dari sebuah upaya untuk memahami peristiwa dahsyat yang sulit untuk dihadapi; dan (2) dongeng lahir dari imajinasi dan interpretasi  individu pemilik mitos tersebut (Ahimsa, 2013:260).
Implikasi dari pendapat tersebut, pertama, bahwa tokoh Semar adalah realisasi dari nalar pikir masyarakat kecil yang selalu berupaya memahami peristiwa yang rumit dalam kehidupannya. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa tokoh Semar oleh sebagian masyarakat Jawa adalah representasi dari wong cilik. Wong cilik (rakyat kecil) ini beberapa beranggapan bahwa mereka merasa tertindas oleh kepentingan kekuasaan. Oleh karena itu, muncul lakon-lakon wayang yang merepresentasikan suara rakyat kecil yang diwujudkan pada tokoh Semar, misalnya, Lakon Semar Mbabar Jatidiri, Lakon Semar Mbangun Gedhong Kencana, dan sebagainya. Kedua, tokoh Semar lahir dari budaya asli mitologi nusantara[1] (Mulyono, 1982:115). Artinya, tokoh Semar merupakan imajinasi dan interpretasi individu masyarakat Nusantara. Menurut Ahimsa, walaupun kita tidak tahu bagaimana sebuah mitos lahir di tengah masyarakat, namun kita tidak dapat mengingkari fakta bahwa mitos lahir melalui individu-individu tertentu. Mitos tidak begitu saja muncul dari langit. Pencipta mitos tetaplah manusia (“Si Pendongeng”) yang juga melibatkan dirinya dalam kehidupan masyarakatnya (Ahimsa, 2013:260).

B.  Asal-usul Tokoh Semar Dalam Cerita Pewayangan
Pembahasan mengenai asal-asul tokoh Semar penulis membagi menjadi dua bagian, pertama, asal-usulnya dalam cerita atau lakon wayang; kedua, asal-usulnya dalam kebudayaan masyarakat yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya. Pembagian ini bertujuan agar tidak terjadi tumpang-tindih dalam memahami asal-usul Semar. Dalam hal ini dipaparkan terlebih dahulu mengenai asal-usul tokoh Semar, setelah itu ditampilkan cerita turunnya Semar ke dunia dalam lakon pertunjukan wayang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
Sang Hyang Wenang memiliki putra yaitu Sang Hyang Tunggal yang memiliki istri Dewi Rekatawati. Pada suatu hari Rekatawati melahirkan sebutir telur. Di hadapan Sang Hyang Wenang telur tersebut menetas dengan sendirinya dan menjadi tiga makhluk. Ketiga makhluk tersebut adalah Tejamantri yang muncul dari kulit telur, kemudian Ismaya yang berasal dari putih telur, dan Manikmaya terjadi dari kuning telur. Suatu ketika terjadi perdebatan antara Tejamantri, Ismaya, dan Manikmaya, mereka berebut posisi yang kelak menggantikan ayahnya sebagai penguasa. Manikmaya kemudian menantang perlombaan, yaitu menelan gunung dan memuntahkannya kembali. Tejamantri sebagai yang tertua melakukannya dulu tetapi gagal[2]. Berikutnya Ismaya yang melakukannya dan berhasil menelannya tetapi tidak dapat memuntahkannya sehingga perutnya menjadi besar. Peristiwa ini menimbulkan gara-gara sehingga Sang Hyang Wenang datang. Pada akhirnya, Sang Hyang Wenang menetapkan bahwa pada waktunya nanti Manikmaya akan menjadi raja paradewa, penguasa surga dan neraka, dan menurunkan penduduk di bumi. Adapun Semar dan Tejamantri harus turun ke bumi untuk memelihara keturunan Manikmaya. Keduanya hanya diperbolehkan mengahadap Sang Hyang Wenang apabila Manikmaya bertindak tidak adil. Sejak itu Sang Hyang Wenang mengganti nama mereka, Manikmaya menjadi Batara Guru, Tejamantri menjadi Togog, dan Ismaya menjadi Semar (Sumukti, 2005:20-21; Mulyono, 1982:53-55).
Kisah tersebut kemudian berlanjut dengan turunnya tokoh Semar di dunia. Semar turun di bumi terjadi pada zaman Resi Kanumayasa seorang pendeta di Saptaarga. Suatu ketika, ada orang cebol bernama Samarasanta (Semar) lari di tengah-tengah hutan karena dikejar dua ekor macan. Pelariannya hingga sampai di wilayah Saptaarga. Kanumayasa yang melihat penderitaan Samarasanta kemudian menolongnya dengan meruwat macan tersebut. Setalah diruwat, macan tersebut berubah menjadi dua bidadari yang cantik jelita, yang tua bernama Dewi Kanastren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Akhirnya Dewi Kanastren menjadi jodoh Semar. Adapun Dewi Retnawati menjadi jodoh Kanumayasa. Semenjak peristiwa tersebut Samarasanta kemudian mengabdi (nyantrik) pada sang resi (Purwadi, 2007:258).
Berdasarkan paparan tersebut kemudian oleh para dalang digarap sedemikian rupa menjadi sebuah lakon wayang. Lakon-lakon tentang asal-usul dan turunnya Semar ini kemudian menjadi berbagai versi nama, misalnya Lakon Laire Semar, Lakon Tumuruning Janggan Samarasanta, Lakon Semar Ngejawantah, dan masih banyak lagi. Meskipun muncul berbagai versi nama tentang asal-usul Semar, tetapi inti cerita dan isi yang disampaikan mayoritas sama, tidak banyak terjadi perubahan. Seandainya terjadi perubahan biasanya hanya sebatas pembagian struktur adegan saja, mengingat dalang memiliki kebebasan penuh untuk mengekspresikan daya kreativitasnya.

C.  Asal-usul Mitos Tokoh Semar Dalam Kehidupan Masyarakat
Strategi atau metode yang digunakan untuk mengetahui asal-usul mitos tokoh Semar dalam kehidupan Masyarakat dapat ditelusuri dan dikaji melalui tiga sumber data, yaitu: (1) data kesusasteraan; (2) data relief; dan (3) data lisan (oral). Melalui langkah-langkah tersebut diharapkan dapat membantu menyusun konstruksi diakronis yang cukup baik mengenai asal-usul mitos tokoh Semar.
1.  Semar dalam kesusasteraan.
Semar dalam Kitab Sudamala. Menurut Van Stein Callenfels dalam disertasinya sebagaimana dikutip oleh Mulyono, bahwa Kitab Sudamala dengan tegas telah menyebut nama Semar. Hal ini dapat dilihat pada penggalan bait ke-39 dari kitab tersebut.
PunSmar hamuwus mangke, hatarimengsun kakang matur ring sang mahadibya mangko, haglis ni Putut matura, ring sang maharesi mangke”.
Artinya:
“Kata-kata dari Putut berbunyi” Inilah Semar yang terhormat, yang diberikan oleh sang pertapa yang baik kepada anda. Sampaikanlah penghormatanku, terimakasihku kepada sang pertapa” (Mulyono, 1982:15-19).
Berdasarkan kutipan tersebut bahwa tokoh Semar paling tidak telah ada sejak zaman Majapahit, yaitu abad ke-XV sebagaimana Kitab Sudamala tersebut ditulis. Namun demikian, perlu dikritisi lagi bahwa masih terdapat sumber lain yang tampaknya lebih tua dari Kitab Sudamala yang juga menampilkan nama tokoh Semar, yaitu Kitab Gatutkacasraya.
Semar dalam Kitab Gatutkacasraya. Kitab Gatutkacasraya merupakan karya empu Panuluh pada tahun 1110 Jawa atau 1188 Masehi. Kitab tersebut juga menampilkan nama “Jurudyah Prasanta Punta” (Mulyono, 1982:21). Nama ‘Jurudyah Prasanta’ ini masih sering dipakai oleh para dalang ketika mendeskripsikan dasanama[3] tokoh Semar.
Berdasarkan penjelasan tersebut menunjukkan bahwa mitos tokoh Semar telah ada sejak dulu, yaitu sekitar abad ke-XI. Dalam hal ini perlu disampaikan pula bahwa menurut Hazeu sebagaimana dikutip oleh Mulyono, tokoh Semar adalah asli berasal dari Indonesia. Dia tidak berasal dari India, dan Semar sama sekali tidak merepresentasikan peranan India. Terlebih perannya yang sekarang, di mana dia hadir bersama nasehat-nasehatnya sebagai sosok pembantu yang dihormati oleh tuannya para Pandawa (1982:25-26).

2.  Semar dalam relief.
Mitos tentang asal-usul tokoh Semar juga dapat dilacak dengan mengamati beberapa relief pada bangunan candi. Berdasarkan pengamatan dapat dilihat bahwa terdapat relief tokoh abdi atau punakawan yang mengikuti tuannya dalam bangunan candi Jago dan candi Tegowangi. Candi Jago dibangun pada masa pemerintahan Kertanegara raja di Kerajaan Singosari. Pembangunan candi diperkirakan berlangsung selama kurang lebih 12 tahun (1268M-1280M). Candi Jago dibangun sebagai pendarmaan bagi Wisnu­wardhana yang merupakan ayah dari Kertanegara. Relief yang terpahat dalam dinding bangunan candi Jago adalah cerita Tantri Kamandaka, Kunjarakarna, Anglingdharma, Parthayajna dan Arjuna Wiwaha (Ciptaning) (http://candi.pnri.go.id/jawa_timur/jago/jago.htm; http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Jago). Adapun relief punakawan terdapat pada bagian cerita Parthayajna (Pandawa Dadu). Di dalam relief tersebut tergambar empat sosok abdi di bawah yang di antaranya memiliki badan pendek dan gemuk. Sayangnya tidak ada sumber yang menjelaskan secara pasti tentang deskripsi kedua tokoh abdi tersebut. Namun demikian, apabila relief tersebut diperhatikan secara seksama dapat ditafsirkan bahwa keempat abdi tersebut adalah punakawan Pandawa. Tafsir ini berdasarkan atas bentuk salah satu punakawan tersebut yang memiliki hidung panjang, yaitu tokoh Petruk. Artinya, ketiga tokoh lainnya adalah Semar, Gareng, dan Bagong. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa tokoh Semar sudah ada pada sekitar abad ke-XIII.
Adapun candi Tegowangi dibangun pada akhir abad ke-XIV atas perintah raja Hayam Wuruk (http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Tegowangi). Adanya relief tentang Sudamala mengindikasikan bahwa tujuan dari dibangunnya candi tersebut adalah untuk upacara ruwatan. Di dalam relief Sudamala tergambar dua tokoh yang tampaknya adalah seorang abdi. Salah satunya memiliki badan gemuk dan pendek seperti halnya bentuk tokoh Semar. Apabila merujuk pada isi Kitab Sudamala yang menuliskan bahwa di dalamnya terdapat tokoh Semar, maka dapat ditafsirkan bahwa relief abdi tersebut salah satunya menggambarkan tokoh Semar. Dengan demikian, lagi-lagi tokoh Semar hadir pada sekitar akhir abad ke-XIV pada masa raja Hayam Wuruk.

3.  Semar dalam tradisi lisan (oral)
Data tentang asal-usul mitos tokoh Semar juga dapat dilihat pada sumber data lisan. Meskipun jumlahnya tidak begitu banyak dan kredibilitas data cukup minim, tetapi dalam hal ini tetap dipaparkan sebagai referensi untuk melakukan reduksi dengan mengkomparasikannya terhadap data-data lain. Sebagaimana dituliskan oleh Soetarno, bahwa kemunculan tokoh Semar diuraikan dalam tradisi lisan yang telah tertulis  dalam Serat Centhini dan Serat Sastramiruda. Dijelaskan bahwa tokoh wayang Semar dibuat zaman Mataram pada masa pemerintahan Panembahan Senapati. Selain wayang Semar, juga dibuat wayang lainnya seperti Bagong, Cenguris, Cantrik, keris, dan panah. Peristiwa ini tampaknya terjadi pada sekitar abad ke-XVI. Hal ini didasarkan atas penanda yang dibuat dalam serat tersebut, yaitu tahun 1541 (Soetarno, 2007:15). Berdasarkan sumber ini dapat ditafsirkan bahwa tokoh Semar muncul dalam kehidupan masyarakat yang direalisasikan dalam bentuk wayang kulit.
Sebelum menganalisis perkembangan eksistensi dan esensi tokoh Semar dalam kehidupan masyarakat dipaparkan terlebih dahulu mengenai kehadiran tokoh Semar dalam dunia batin orang Jawa. Keistimewaan karakter tokoh Semar ternyata mendapat ruang khusus dalam sistem religius bagi sebagian masyarakat Jawa, khususnya aliran kepercayaan ‘Sapta Dharma’. Menurut Hadiwijono sebagaimana dikutip oleh Mulyono bahwa di Jawa terdapat suatu aliran kebatinan yang menggunakan simbol tokoh Semar yakni aliran Sapta Dharma. Simbol tersebut berupa:
a.       Belah ketupat yang menggambarkan asal manusia. Sudut atas menggambarkan ‘sinar cahaya Allah’, sudut bawah menggambarkan ‘sari bumi’, sedangkan sudut kanan, dan sudut kiri menggambarkan ‘perantaraan terjadinya manusia’.
b.      Garis tepi belah ketupat menggambarkan badan manusia.
c.       Dasar belah ketupat berwarna hijau muda yaitu penggambaran hawa atau getaran.
d.      Di dalam belah ketupat terdapat segitiga sama sisi yang terbagi ke dalam tiga segi sama sisi dan empat lingkaran sepusat berwarna putih yang menggambarkan terjadinya manusia dari tritunggal (bapa:sperma, ibu:telur, dan sinar cahaya Allah).
e.       Segitiga-segitiga tersebut memiliki sembilan sudut yang artinya penggambaran sembilan lubang manusia.
f.       Empat lingkaran sepusat masing-masing berwarna hitam, merah, kuning, dan putih yang menggambarkan empat hawa nafsu manusia, yaitu amarah, supiyah, aluwamah, dan mutmainah.
g.      Gambar Semar terdapat pada lingkaran pusat berwarna putih yaitu menggambarkan lubang kesepuluh manusia yang terletak di ubun-ubun.
h.      Gambar Semar memiliki arti budi luhur. Tangan kiri Semar memegang sesuatu yang artinya memiliki rasa yang mulia dan memiliki sabda yang kuasa. Kampuh lipatan lima yang dikenakan oleh Semar menggambarkan bahwa ia menjalankan Panca Sila Allah.
i.        Tulisan Sapta Dharma tertera di dalam belah ketupat yang berarti tujuh kewajiban. Selain itu, juga tertulis napsu, budi, dan pakarti yang menggambarkan kepribadian manusia (Mulyono, 1982:35-37).
‘Wahyu Sapta Dharma’ diterima oleh Hardjosapuro pada Jumat tanggal 27 Desember pukul satu malam di Desa Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Berangkat dari fenomena ini dapat ditafsirkan bahwa Semar hadir dalam sistem kepercayaan sebagian orang Jawa, yaitu aliran Sapta Dharma. Salah satu hal yang dapat diambil dari peristiwa ini, yaitu mereka percaya bahwa Semar ‘ada’ atau ‘nyata’. Terlepas dari apakah benar atau tidak, tetapi yang jelas Semar telah menimbulkan sugesti hingga orang Jawa begitu panatik terhadapnya, dan inilah faktanya.

D.  Perkembangan Eksistensi dan Esensi Tokoh Semar Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa
Perkembangan eksistensi dalam hal ini adalah penjelasan tentang ‘keberadaan’ tokoh Semar di dalam kehidupan masyarakat berdasarkan pemaparan-pemaparan data sebelumnya. Hal ini berpijak pada angka tahun dan angka abad. Asumsi sederhananya, bahwa ketika suatu benda (data arkeologi) menampilkan representasi tentang tokoh punakawan dan/atau tokoh Semar berarti pada tahun itu pula keberadaan Semar telah ada.
Berdasarkan sumber data baik kesusasteraan, relief, maupun lisan dapat ditarik sebuah diacronic historical description, bahwa Semar telah ada sejak abad ke-XI sebagaimana terdapat dalam Kitab Gatutkacasraya. Selantunya keberadaan tokoh Semar terdapat di relief candi Jago dalam cerita Parthayajna pada abad ke-XIII. Keberadaannya juga tampil pada relief candi Tegawangi dalam cerita Sudamala pada abad ke-XIV. Tokoh Semar juga terdapat dalam Kitab Sudamala pada abad ke-XV. Sekitar abad ke-XVI pada masa pemerintahan Panembahan Senapati di Mataram lahir tokoh wayang Semar. Setelah tahun-tahun tersebut keberadaan mitos tokoh Semar masih ada hingga sekarang. Implikisasi dapat dilihat dari hadirnya dalam aliran Sapta Dharma, tampilnya dalam pertunjukan lakon wayang, muncul dalam berbagai ornamen. Artinya keberadaan tokoh Semar masih bertahan hingga saat ini. 
   

         Adapun mengenai perkembangan esensi tokoh Semar menunjukkan perubahan atau pergeseran peran. Apabila diamati awalnya peran Semar tidak lebih dari sosok abdi atau pembantu. Meskipun dalam berbagai sumber tidak menyatakan secara pasti peran Semar, tetapi di situ juga tidak menyebutkan bahwa tokoh Semar hadir dengan nasehat-nasehatnya. Artinya, dapat ditafsirkan bahwa punakawan Semar hanya seperti atau bahkan sama dengan kedudukkan abdi. Namun demikian, tafsir ini bisa kurang tepat apabila kemudian ditemukan data lain yang menyebutkan secara pasti bahwa sejak awal peran tokoh Semar memang lebih dari sekedar abdi. Selanjutnya, apabila dilihat perkembangannya hingga saat ini peran Semar telah mengalami perubahan. Semar hadir sebagai lambang kebijaksanaan baik dalam cerita wayang maupun kehidupan masyarakat Jawa. Kehadirannya membawa kedamaian bagi yang mendengarkannya. Secara implisit dapat kita lihat dalam aliran Sapta Dharma, ornamen-ornamen, lakon-lakon wayang tentang Semar di mana esensi Semar adalah sugesti yang mengarahkan terhadap keserdahanaan yang penuh dengan kebijaksanaan sebagai sebuah panutan hidup.

PENUTUP

Kesimpulan
Berbagai penjelasan tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, tokoh Semar adalah sebuah mitos yang lahir dari imajinasi nenek moyang Indonesia sebagai pemilik dongeng tersebut. Kedua, dalam cerita wayang tokoh Semar lahir dari sebutir telur yang dilahirkan oleh Dewi Rekatawati istri Sang Hyang Tunggal. Tokoh Semar kemudian ditugaskan ke dunia untuk mengasuh para kesatriya. Turunnya tokoh Semar di dunia terjadi pada zaman resi Kanumayasa di Saptaarga. Ketiga, berdasarkan data kesusasteraan, relief, dan lisan menunjukkan bahwa keberadaan mitos Semar sudah ada sejak abad ke-XI dan tetap eksis hingga sekarang. Oleh karena itu, periodesasi penjelasan sejarah mitos Semar ini dimulai dari abad ke-XI hingga sekarang. Keempat, esensi tokoh Semar juga menunjukkan perubahan. Awalnya semar tampak hanya seperti abdi atau punakawan, tetapi sekarang Semar lebih dari sekedar abdi, dia adalah lambang kebijaksanaan yang menuntun pada kesederhanaan hidup.
Berdasarkan kesimpulan tersebut penulis masih menyadari bahwa analisis di sini masih jauh dari sempurna. Minimnya data serta tersebarnya data yang saling tumpang-tindih menimbulkan kesulitan bagi penulis dalam mengklasivikasi serta menginventarisasikannya. Penulis berharap pembahasan tentang asal-usul mitos Semar ini masih bisa diperbaiki dan dilanjutkan oleh siapapun.


DAFTAR ACUAN

Kepustakaan
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press, 2013.
Mulyono, Sri. Apa dan Siapa Semar. Jakarta: Gunung Agung, 1982.
Murtiyoso, Bambang. “Mengenal Karya Baru Wayang Layar Lebar Sandosa”, Gatra, No. XVIII. Jakarta: Senawangi, 1998.
Purwadi. Seni Pedhalangan Wayang Purwa. Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007.
Soetarno, Sarwanto, dan Sudarko. Sejarah Pedalangan. Surakarta: ISI Press, 2007.
Soetarno. Teater Nusantara. Surakarta: ISI Press, 2011.
Sumukti, Tuti. Semar Dunia Batin Orang Jawa. Yogyakarta: Galangpress, 2005.



Internet
“Perpustakaan Nasional Republik Indonesia: Candi di Indonesia; Candi Jago” dalam http://candi.pnri.go.id/jawa_timur/jago/jago.htm. Diunduh pada tanggal 21 Januari 2014.




[1]Penjelasan mengenai tokoh Semar sebagai produk nusantara akan dijelaskan pada sub bagian berikutnya tentang asal-usul tokoh Semar dalam kehidupan masyarakat.
[2]Ada versi yang menyebutkan bahwa Tejamantri hanya berhasil menelan sampai mulut hingga akhirnya mulut Tejamantri menjadi lebar.
[3]Dasanama: dasa sama dengan sepuluh; nama sama dengan nama. Artinya, sebutan nama yang lain.

15 Jan 2014

KARAKTER TOKOH TRIPAMA SEBAGAI PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER BAGI MAHASISWA



KARAKTER TOKOH TRIPAMA
SEBAGAI PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER BAGI MAHASISWA



Disusun oleh:
                                                                     Catur Nugroho

   
INSTITUT SENI INDONESIA
SURAKARTA
2011


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Seni pedalangan khususnya wayang kulit purwa merupakan sebuah seni yang kompleks, artinya dalam pertunjukannya terdapat berbagai hal penting yang terkandung baik itu nampak secara nyata atau hanya tersirat saja dalam sajian perjalanan cerita wayang tersebut. Beberapa hal penting atau unsur wigati yang terdapat dalam pertunjukan wayang baik itu cerita, tokoh, karakter maupun struktur dramatik alur lakon, secara hakiki bagi yang menyadari semuanya berorientasi terhadap pesan-pesan moral yang ingin disampaikan dalang kepada penonton atau penghayatnya.
Ajaran moral yang terkandung dalam pertunjukan wayang memang mencakup banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia, seperti kita ketahui bahwa pertunjukan wayang merupakan refleksi dari kehidupan manusia. Sehingga, antara makna dan pesan dalam pertunjukan wayang dengan kehidupan manusia secara disadari atau tidak memang saling mempengaruhi. Nilai-nilai yang terkandung dalam pertunjukan wayang diantaranya, ialah: (a)nilai kepahlawanan, (b)nilai sosial, (c)nilai kesetiaan dan masih banyak lagi.
Berbagai nilai-nilai moral kemanusian dan sosial memang cukup inti dalam pertunjukan wayang, hingga makna atau pesan dalam pertunjukan wayang masih begitu ditekankan atau diutamakan, sehingga pertunjukan wayang sering disebut sebagai tuntunan. Akan tetapi, seiring perkembangan jaman yang kian mengglobal dan sangat erat bersentuhan dengan kehidupan manusia berikut budayanya, disatu sisi memang memacu loncatan drastis pada arah kemajuan tapi disisi lain justru memundurkan sesuatu hal yang dianggap kurang up to date atau dianggap sebagai hal yang kuno, dalam hal ini adalah kebudayaan tradisi termasuk pertunjukan wayang. Hal ini, memang tidak bisa diartikan dari paradigma sebelah mata saja karena keduanya antara tradisi dan pengaruh global memang sebuah fenomena yang secara nyata terjadi dan harus dihadapi, sehingga dewasa ini banyak pertunjukan wayang yang hanya lebih menampilkan pada sisi hiburan saja, sebab manusia sekarng lebih menyukai hal-hal yang instan dan mudah dimengerti, dengan kata lain sekarang sering disebut wayang sebagai tontonan. Laeyendecker memaparkan, bahwa pertama, masyarakat pada hakekatnya adalah stabil, tetapi secara ajek muncul faktor pengganggu yang menyebabkan perubahan; kedua, masyarakat pada hakekatnya berubah namun karena bergabungnya berbagai faktor maka masyarakat tersebut kadang-kadang stabil untuk waktu yang lama; ketiga, antara stabilitas dan perubahan merupakan dua sisi yang sama. Ini artinya bahwa menimbulkan perubahan sama sukarnya dengan membendung perubahan(1983:54). Justru permasalahannya adalah bagaimana kita, atau lebih penulis tekankan bagaimana seorang mahasiswa menyikapi fenomena ini?, jawaban ada ditangan kita sebagai seorang mahasiswa.
Berdasarkan pandangan subyektivitas penulis mahasiswa adalah sosok yang sangat berpengaruh bagi maju dan mundurnya sebuh negara secara umum, dan secara khusus kebudayaan tradisi diantaranya adalah pertunjukan wayang. Sebab, mahasiswa adalah generasi muda yang nantinya akan memimpin dan membawa bangsa ini kearah kemajuan tentunya. Sebagai contoh, seorang mahasiswa pedalangan ketika masih menjalani studi atau setelah selesai studi pada dasarnya memiliki peran yang cukup penting untuk kelestarian dan perkembangan wayang. Sehingga beban yang dipikul oleh seorang mahasiswa memang sangat berat, namun akhir-akhir ini berdasarkan pengamatan penulis mengenai realita kehidupan mahasiswa memang sedikit banyak terdapat hal-hal yang cukup memprihatinkan. Dewasa ini banyak mahasiswa yang sering bertindak anarkis, emosi yang tak terkendali dan sering melakukan hal-hal yang merusak tatanan, seperti: mabuk, narkoba dan sebagainya. Kejadian tersebut, hampir setiap hari menghiasi mata kaita ketika melihat siaran berita pada sebuah stasiun televisi. Disamping itu, sebagian mahasiswa atau generasi muda saat ini terlalu mudah atau kurang selektif dalam menerima kebudayaan barat, yang mungkin kurang sesuai dengan kebudayaan tradisi, sehingga kebudayaan tradisi harus tersisih secara perlahan.
Fenomena tersebut memang bukan menjadi topik yang baru, artinya dari dulu permasalahan mengenai kenakalan mahasiswa sudah menjadi hal yang biasa, hanya intensitasnya saja yang membedakan bah dewasa ini menurut pandangan penulis lebih meningkat intensitasnya, sehingga hal ini cukup mengkhawatirkan tentunya bagi kita semua. Fenomena tersebut, sekilas memang kurang menyambung dengan konteks pedalangan, namun jika kita benar-benar mau meresapi, memahami dan merenunginya ternyata semua kejadian tersebut memiliki benang merah dengan dunia pedalangan. Dewasa ini, dengan semakin maraknya pergaulan bebas dan budaya asing dalam kalangan mahasiswa yang kurang pas dengan kebudayaan kita, ternyata juga berimbas terhadap dunia pedalangan. Hal ini, nampak jelas ketika mahasiswa dewasa ini yang lebih menganggap kebudayaan barat adalah sesuatu yang modern dan patut dilakukan, dan kebudayaan tradisi yang didalamnya terdapat pertunjukan wayang dianggap kuno dan malu untuk dilakukan, ini nampak bahwa kebanyakan anak muda dewasa ini menurut pandangan penulis kurang begitu antusias terhadap pertunjukan wayang.
Dewasa ini, mulai ngetren dengan istilah pendidikan karakter, artinya dari semua fenomena diatas banyak yang beranggapan permasalahan dasar pada mahasiswa atau generasi bangsa bersumbu pada karakter seseorang. Hipotesa penulis, lemahnya karakter yang dimiliki seseorang akan sangat mempengaruhi terhadap sikap dan perilaku untuk bertindak. Pendidikan karakter itu sendiri yang sekarang mulai ditekankan oleh pemerintah terdiri dari empat pilar penting yang seharusnya dijadikan sebagai sebuah pegangan, yaitu: (1)Undang-Undang Dasar 1945, (2)Pancasila, (3)Bhineka Tunggal Ika dan (4)NKRI. Sehingga, dari fenomena ini akan penulis hadapkan serta kolerasikan dengan dunia pewayangan, karena nilai yang terkandung dalam pertunjukan wayang sementara ini masih sangat relevan untuk dijadikan sebuah perspektif pada pendidikan karakter mahasiswa, dengan harapan mampu membantu memperbaiki karakter mahasiswa atau generasi muda menjadi lebih baik. Sebab, seperti kita ketahui bahwa dalam pertunjukan wayang terkandung ajaran-ajaran moral yang sangat adi luhung sehingga apabila kita benar-benar meresapi dan melaksanakannya tentu akan memiliki manfaat yang besar dalam kehidupan ini.
Nilai yang terkandung dalam pertunjukan wayang terdapat dalam berbagai aspek, diantaranya dalam tokoh wayang, alur cerita dan pengkarakteran tokoh. Sesuai dengan tema ini penulis akan mengangkat mengenai tokoh wayang yang disebut dengan istilah Tripama, istilah ini yang mencipkan adalah KGPAA Mangkoenegara IV yang tertulis dalam Serat Tripama dan KGPAA Mangkoenegara IV adalah pengarang dari buku tersebut. Tripama merupakan bahasa jawa yang berarti, Tri adalah tiga dan pama ialah perumpamaan yang artinya tiga tokoh baik yang menjadi sebuah perumpamaan atau contoh karakter yang memiliki nilai bijaksana tinggi untuk ditiru atau dicontoh.
Tripama itu terdiri dari tiga tokoh wayang, yaitu: (1)Sumantri, (2)Kumbakarna dan (3)Basukarna. Ketiga tokoh tersebut menurut KGPAA Mangkoenegara IV adalah tokoh yang memiliki jiwa atau karakter yang sangat bagus, sehingga patut untuk dicontoh dan ditiru bagi kita khususnya generasi muda atau mahasiswa. Sehingga, jiwa yang dimiliki oleh tokoh Tripama tersebut mampu dijadikan sebuah perspektif pendidikan karakter. Perspektif itu sendiri merupakan sebuah pandangan, artinya tulisan ini berisi penggambaran tokoh Tripama yang seyogyanya mampu dijadikan sebuah pandangan dan tauladan yang baik bagi kita semua khususnya mahasiswa.

B.     Perumusan masalah
Pembahasan ini agar terarah maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimana penjelasan mengenai karakter tokoh Tripama?
2.      Bagaimana tokoh Tripama sebagai perspektif pendidikan karakter bagi mahasiswa?
Rumusan permasalahan tersebut akan dibahas secara jelas, serta akan menambahkan beberapa hal lainnya yang terkait maupun memiliki kolerasi terhadap topik pembahasan tulisan ini.
C.    Tujuan penulisan
Pembahasan dalam makalah ini memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai, tujuan ini penulis bagi dalam dua hal, yaitu:
a.       Tujuan umum
1.      Memperoleh gambaran yang jelas mengenai penjelasan serta penggambaran karakter tokoh Tripama.
2.      Mengetahui tentang karakter tokoh Tripama apabila diaplikasikan sebagai sebuah perspektif pendidikan karakter bagi mahasiswa.
b.      Tujuan Khusus
Penulisan makalah ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir semester mata kuliah Seminar Pedalangan II.

D.    Manfaat penulisan
Kontribusi dari penulisan ini adalah menambah perbendaharaan kajian mengenai pertunjukan wayang dalam pengaplikasiannya terhadap lingkungan sosial, termasuk dalam hal ini adalah mampu memperoleh penjelasan mengenai karakter tokoh Tripama dan mampu mengapresiasi bagi pembaca maupun khalayak luas, bahwa dalam pertunjukan wayang terkandung makna yang berharga bagi kehidupan manusia. Sehingga, dari tulisan ini pembaca khususnya bagi mahasiswa mampu mengaplikasikan karater tokoh Tripama dalam pendidikan karakternya.


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Tokoh Tripama
Tokoh Tripama merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh KGPAA Mangkoenegara IV dalam bukunya yang berjudul Serat Tripama, namun pada kesempatan ini penulis tidak menemukan buku asli dari Serat Tripama tersebut dan hanya mengacu pada buku yang ditedhak dan kababar oleh Ki. Tentrem Warsena. Tokoh Tripama terdiri dari tiga tokoh wayang yaitu Sumantri, Kumbakarna dan Basukarna, sesuai dengan istilah Tripama yaitu Tri adalah tiga dan pama adalah perumpamaan baik yang sepatutnya dijadikan tauladan. Ketiga karakter tokoh tersebut dalam Serat Tripama disampaikan dalam bentuk tembang macapat yaitu Dandanggula. Pembahasan tokoh Tripama akan penulis bahas satu per satu dari ketiga tokoh tersebut, penjelasannya sebagai berikut:
a.      Tokoh Sumantri
Suwanda atau Sumantri adalah tokoh dalam cerita Ramayana, Sumantri merupakan anak Begawan Suwandagni dari pertapan Jatisrana. Sumantri memiliki adik yang bernama Sukrasana, keduanya saling mencintai dan menyayangi meskipun Sukrasana berwujud raseksa atau buta bajang dan Sumantri berparas tampan namun Sumantri tetap tulus mengasihi Sukrasana. Sumantri sejak kecil sudah mendapatkan berbagai ilmu wigati dari ayahnya Begawan Suwandagni, hingga setelah dewasa Sumantri memiliki tekad untuk mengabdi kepada Prabu Harjuna Sasrabahu. Perjalanan Sumantri ketika akan mengabdi dengan Prabu Harjuna Sasrabahu inilah yang menurut KGPAA Mangkoenegara IV merupakan karakter tokoh wayang yang patut untuk dijadikan suri tauladan, sehingga oleh KGPAA Mangkoenegara IV ditulislah ini kedalam Serat Tripama pupuh Dandanggula, sebagai berikut:

Yogyanira kang para prajurit,
Lamun bisa sira hanulada,
Duk ing nguni caritane,
Andelira sang parbu,
Sasrabahu ing Mahespati,
Aran Patih Suwanda,
Lelabuhanipun,
Kang ginelung tri pakara,
Guna kaya purune kang den antebi,
Nuhoni trah utama.


Lire lelabuhan tri prakawis,
Guna: bisa saneskareng karsa,
Binudi dadya unggule,
Kaya: sayektinipun,
Duk mbantu prang Manggada Nagri,
Hamboyong putri dhomas,
Katur ratunipun,
Purune sampun tetela,
Aprang tandhing lan ditya Ngalengka Aji,
Suwanda mati ngrana.



Tembang diatas secara garis besar berisi tentang karakter dan tekad yang dimiliki Sumantri ketika akan mengabdi dengan Prabu Harjuna Sasrabahu, penulis menggaris bawahi kata atau cakepan dalam tembang tersebut yang juga ditekankan oleh KGPA Mangkoenegara IV yaitu kata Guna, kaya  dan purun.
Guna memiliki arti bahwa Sumantri memiliki karakter yang penuh tanggung jawab dan mampu melaksanakan tugas dengan lancar, mampu membuat solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapinya atau permasalahan pada bangsanya. Hal ini, nampak ketika Sumantri diutus Prabu Harjuna Sasrabahu untuk memboyong Dewi Citrawati dari Magada, akhirnya Sumantri mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik.
Kaya atau dalam bahasa Indonesia berarti kekayaan, memiliki arti bahwa Sumantri memiliki kaya yang cukup baik secara jasmani maupun rohani. Secara jasmani Sumantri kaya akan kemampuan olah batin, kaya akan rohani selain pandai dalam ilmu perang juga nampak ketika Sumantri mampu membedhah Manggada kemudian memperoleh putri dhomas dan raja brana semua diserahkan pada Prabu Harjuna Sasrabahu, jelas ini menggambarkan karakter Sumantri yang ikhlas menyerahkan semua kekayaan yang dimilikinya pada Prabu Harjuna Sasrabahu sebagai Raja yang sangat Sumantri hormati.
Purun dalam bahasa Indonesia berarti mau atau bersedia, artinya Sumantri memiliki karakter yang ikhlas dan tulus dalam melaksanakan semua tanggung jawabnya. Kesanggupan yang tulus dari dalam hati Sumantri inilah yang patut kita contoh sebagai sebuah karakter yang mulia.
Ketiga inti dari karakter yang dimiliki Sumantri tersebut apabila disimpulkan, artinya Sumantri adalah tokoh yang memiliki karakter setia atau mengandung nilai kesetiaan. Hal ini, sangat nampak dalam jiwa Sumantri ketika dia baru mengabdi pada Harjuna Sasrabahu dan akhirnya harus gugur oleh Rahwana semua dilakukan atas dasar kesetiaannya kepada Harjuna Sasrabahu.

b.    Tokoh Kumbakarna
Tokoh Kumbakarna juga masuk dalam salah satu tokoh Tripama, artinya menurut KGPA Mangkoenegara IV terdapat karakter baik dalam diri Kumbakarna yang juga patut untuk dijadikan cantoh. Kumbakarna adalah tokoh wayang yang terdapat dalam serat Ramayana, Kumbakarna merupakan adik dari Rahwana raja Alengka, Kumbakarna juga memiliki adik yang bernama Gunawan dan Sarpakenaka. Mengenai jiwa Kumbakarna berdasarkan asumsi KGPA Mangkoenegara IV disuratkan dalam Serat Tripama pupuh Dandanggula sebagai berikut:

Wonten malih tuladhan prayogi,
Satriya gung nagri ing Ngalengka,
Sang Kumbokarna arane,
Tur iku warna diyu,
Suprandene nggayuh utami,
Duk wiwit prang Ngalengka,
Denya darbe atur,
Mring raka mrig raharja,
Dasamuka tan kengguh ing atur yekti,
De mung mungsuh wanara.

Kumbakarna kinen mangsah jurit,
Mring kang raka sira tan nglenggana,
Nglungguhi kasatriyane,
Ing tekad datan sujud,
Amung cipta labuh Nagari,
Lan nolih yayah rena,
Myang leluhuripun,
Wus mukti aneng Alengka,
Mangke arsa rinusak ing bala kapi,
Punagi mati ngrana.

Tembang Dandanggula diatas secara garis besar memiliki arti bahwa Kumbakarna adalah tokoh yang memiliki karakter atau jiwa kesatriya (jw: jiwa utama). Hal ini nampak, ketika Kumbakarna selalu berusaha menasihati Rahwana agar mengembalikan Sinta kepada Rama, sebab Sinta adalah milik Rama. Apabila, Rahwana tetap ingin memiliki Sinta dengan cara yang demikian maka bagaimannapun juga Rahwana berada dalam posisi yang salah, dalam bahasa jawa ada istilah yang menyebutkan: “sapa sing dhisiki cidra, wahyune bakal sirna”. Akan tetapi, Rahwana sama sekali tidak menggubris perkataan Kumbakarna, hingga akhirnya Kumbakarna pergi dari Alengka dan melakukan Tapa Nendra untuk mendapatkan petunjuk dari sang Ilahi.
Perang akhirnya terjadi antara Alengka dengan bala kera prajurit dari Prabu Rama, setelah prajurit Alengkka sudah terosak-asik oleh pasukan prabu Rama, lalu Rahwana menyuruh Indrajid anaknya agar membangunkan Kumbakarna bahwa perang sudah terjadi dan menyuruh Kumbakarna untuk berperang, sebab jika Kumbakarna tak mau perang maka tak lama lagi Alengka akan dihancurkan oleh Rama dan prajuritnya. Pada awalnya, Kumbakarna tetap menolak untuk berperang melawan Prabu Rama, namun karena Kumbakarna memiliki jiwa kesatriya dan nasionalisme yang tinnggi akhirnya Kumbakarna maju perang menghadapi bala kera. Perlu diingat, bahwa Kumbakarna ketika berperang ini sama sekali bukan membantu Rahwana yang jelas-jelas berada dipihak yang salah melainkan membela bangsanya atau tanah kelahirannya beserta leluhurnya yang telah membesarkan Kumbokarna dan mendirikan bangsa Alengka.
Penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Kumbakarna memiliki karakter yang tanggung jawab, rela berkorban dan mengedepankan jiwa nasionalismenya. Sehingga, kisah mengenai tokoh Kumbakarna ini mengandung nilai kepahlawanan dan patriotisme yang sangat baik untuk ditiru bagi kita khususnya mahasiwa sebagai generasi muda penerus bangsa.

c.       Tokoh Basukarna(Suryaputra)
Tokoh basukarna atau ketika masih muda bernama Suryaputra merupakan tokoh yang juga termasuk dari tokoh Tripama menurut KGPA Mangkoenegara IV, tokoh Basukarna adalah anak dari Dewi Kunthi dengan Batara Surya. Akan tetapi, karena Basukarna adalah anak yang tercipta diluar ikatan resmi maka akhirnya Basukarna dibuang ke sungai hingga akhirnya ditemukan oleh kusir dari Astina bernama Adirata yang kemudian membesarkan Suryaputra hingga dewasa dan menjadi Senopati di Astina. Berikut tembang dandanggula yang berisi mengenai Basukarna:
Wonten malih kinarya palupi,
Suryaputra Narpati Ngawangga,
Lan pandhwa tur kadange,
Len yayah tunggil ibu,
Suwita mring Kurupati,
Aneng Nagri Ngastina,
Kinarya gul-agul,
Manggala golongganing prang,
Bratayuda ingadeken senapati,
Ngalaga ing kurawa.
         
Den mungsuhken kadange pribadi,
Aprang tandhing lan Sang Dananjaya,
Sri Karna suka manahe,
De nggonira pikantuk,
Marga denya arsa males sih,
Ira sang Duryudana,
Marmanta kalangkung,
Denya ngetog kasudiran,
Aprang rame Karna mati jinemparing,
Sumbaga wirutama.

Berdasarkan tembang macapat tersebut pada intinya berisi tentang tokoh Suryaputra yang juga patut untuk dijadikan contoh bagi kita, hal demikian dapat kita lihat dari pengorbanan Basukarna terhadap Duryudana dan negara Astina yang talah memuliakan hidupnya. Pengorbanan yang dilakukan Basukarna adalah ketika dia tetap maju perang Baratayuda dipihak Kurawa dan harus melawan Pandawa yang jelas-jelas Karna mengetahui bahwa Pandawa masih saudaranya sendiri, sama-sama anak dari Dewi Kunthi. Namun, semua tentunya dilakukan Basukarna dengan penuh pertimbangan, Basukarna lebih memilih dipihak Kurawa daripada Pandhawa karena menurut Basukarna Kurawa adalah sosok yang menerima Basukarna apa adanya hingga akhirnya mengangkat Karna mejadi Senapati.
Sikap yang diambil oleh Basukarna ini menggambarkan bahwa Basukarna adalah tokoh yang memiliki karakter tanggung jawab, jiwa striya dan tidak melupakan jasa atau kebaikan orang lain. Hal ini, nampak jelas bahwa pembelaan Karna dipihak Kurawa karena disatu sisi selain membela tanah yang telah membesarkannya, Karna juga merasa berhutang budi pada Duryudana yang telah menerima Karna apa adanya hingga akhirnya Karna mampu hidup makmur di Astina dan menjadi Senapati dipihak Kurawa, sehingga Karna memiliki tanggung jawab harus membalas budi semua kebaikan yang telah diberikan Duryudana kepadanya. Nilai yang terkandung adalah nilai Kepahlawanan dan kesetiaan.
2.      Tokoh Tripama sebagai perspektif pendidikan karakter bagi mahasiswa
Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita ketahui mengenai karakter tokoh Tripama yang pada dasarnya ketiga tokoh tersebut memiliki karakter yang sangat mulia, artinya sangat pantas untuk dijadikan suri tauladan. Nilai yang dapat diambil diantaranya: nilai kepahlawanan, nilai kesetiaan, nasionalisme, pengorbanan dan jiwa kesatriya yangg selalu diutamakan. Nilai-nilai inilah yang menurut penulis sangat relavan apabila dikolerasikan sebagai perspektif pendidikan karakter bagi mahasiswa dewasa ini khususnya, sebab seperti di awal tadi penulis menerangkan bahwa peranan mahasiswa atau generasi muda sangat berpengaruh besar bagi kemajuan atau kemundurun suatu bangsa.
Pendidikan karakter secara garis besar teridi dari empat pilar, yaitu: UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dan NKRI. Keempat pilar tersebut pada hakikatnya adalah sebuah pedoman atau idealisme yang seharusnya memang menjadi sebuah impian yang sangat perlu dilakukan tindakan secara nyata. Pendidikan karakter yang terdiri dari empat pilar utama tersebut berdasarkan asumsi penulis seorang mahasiswa perlu mencontoh dan menjadikan karakter-karakter tokoh Tripama sebagai sebuah perspektif pendidikan karakter.
Tokoh Sumantri, adalah tokoh yang memiliki karakter percaya diri, tanggung jawab, pemberani, jiwa kesatriya yang tinggi dan rela berkorban. Karakter tokoh Sumantri inilah yang hendaknya mampu ditiru oleh mahasiswa dewasa ini, berkaitan dengan pendidikan karakter hendaknya seorang mahasiswa harus memiliki karakter tanggung jawab, artinya tanggung jawab terhadap tugas yang dimilikinya dan menjalankannya dengan benar, pemberani artinya mahasiswa harus selalu berani seperti Sumantri dalam menghadapi segala rintangan maupun halagan yang dihadapinya dan mampu memberikan sebuah solusi, sehingga keberadaan mahasiswa benar-benar mampu menjadi penerang bagi masyarakat. Seorang mahasiswa juga harus memiliki karakter rela berkorban, rela berkorban ini tentunya dapat dihubungkan dengan empat pilar utama tadi yaitu pilar mengenai NKRI, seorang mahasiswa harus rela berkorban untuk menjaga keutuhan NKRI entah itu dalam wujud apapun. Sumantri yang selalu menjujunjung tinggi kesetiaan terhadap Rajanya juga dapat kita contoh dengan selalu bertindak sesuai dengan aturan-aturan yang telah ada.
Berikutnya adalah tokoh Kumbakarna yang sepantasnya juga kita jadikan contoh, sebab tokoh Kumbakarna adalah tokoh yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi. Hendaknya karakter seperti ini selalu tertanam dalam diri mahasiswa, rasa nasionalisme dapat diwujudkan dengan selalu menjaga perdamainan, menjunjung tinggi idealisme bangsa seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Sebab, akhir-akhir ini nasionalisme mulai kurang diperhatikan sehingga ini menjadi tanggung jawab besar bagi mahasiswa. Wujud nyata nasionalisme juga dapat dilakukan dengan turut mendukung serta mencintai aset-aset bangsa termasuk kebudayaan tradisi yang didalamnya terdapat pertunjukan wayang. Rasa Nasionalisme juga harus selalu dimiliki mahasiswa seni khususnya mahasiswa pedalangan yang selalu mencintai pertunjukan wayang dan menjadi tokoh pelestari budaya seni pewayangan, sehingga seni pertunjukan wayang tidak akan tergeser dengan derasnya budaya barat yag kurang sesuai dengan kebudayaan kita. Tokoh  Kumbakarna memiliki pedoman bahwa “daripada harus menyerah ditangan penjajah, lebih baik mati menjadi kusuma bangsa”, dari pernyataan ini tentunya kita mampu mengambil nilai nasionalisme dalam diri Kumbakarna untuk kita aplikasikan sebagai mahasiswa khususnya mahasiswa seni(pedalangan) agar selalu berjuang secara sungguh-sungguh menjaga keutuhan serta melestarikan kebudayaan tradisi yang didalamnya terdapat pertunjukan wayang.
Tokoh terakhir dalam Tripama adalah Basukarna, seperti penjelasan diatas kita telah memperoleh simpulan bahwa tokoh Basukarna adalah tokoh yang memiliki jiwa kepahlawanan, kesetiaan, selalu mengingat jasa orang lain serta keteguhan hati yang tinggi. Karakter ini, juga mampu dijadikan perspektif bagi mahasiswa khususnya adalah mahasiwa seni pedalangan. Seorang mahasiswa hendaknya memiliki jiwa kepahlawanan yang tinggi, hal ini dapat dilakukan  dengan selalu menjaga persatuan dan kesatuan kemajemukan bangsa seperti yang terdapat dalam empat pillar utama pada pendidikan karakter yaitu “Bhineka Tunggal Ika”. Seorang mahasiswa pedalangan hendaknya juga menempatkan karakter Basukarna yang selalu membela negaranya kedalam mind set mahasiswa sehingga setiap tindakan yang dilakukan akan selalu berorientasi terhadap rasa cintanya terhadap wayang untuk selalu menjaga, melestarikan dan mengembangkannya.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai tokoh Tripama dalam Serat Tripama tulisan KGPA Mangkoenegara IV sebagai perspektif pendidikan karakter bagi mahasiswaa ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tokoh Tripama yang didalamnya terdiri dari Tokoh Sumantri, Kumbakarna dan Karna adalah tokoh yang masing-masing memiliki karakter mulia dan baik untuk dijadikan contoh dalam kehidupan kita. KGPA Mangkoenegoro IV yang secara kemampuan sastra sudah tidak diragukan lagi. M      enurut asumsi penulis KGPA Mangkoenegara IV mampu menyusun Serat Tripama secara objektif dan disiplin. Intisari karakter mulia yang dimiliki ketiga tokoh tersebut mampu disuratkan secara indah dalam wujud tembang yang sangat menarik untuk diresapi dan dilaksanakan. Tembang yang berisi tentang karakter ketiga tokoh tersebut yang telah dijelaskan pada pembahasan diatas menurut penulis telah menghasilkan pernyataan-pernyataan mengenai karakter ketiga tokoh tersebut, yaitu:
Tokoh Sumantri memiliki karakter pemberani, tanggung jawab, setia, rela berkorban dan berjiwa satria tinggi. Hal ini, nampak jelas dalam kisah Sumantri ketika akan mengabdi pada Harjuna Sasrabahu yang kemudian diterima hingga akhirnya harus mati demi Harjuna Sasrabahu. Kisah ini menggambarkan sebuah nilai yang sangat bagus untuk dicontoh.
Tokoh Kumbakarna dalam pembahasan diatas dapat diisimpulkan bahwa Kumbakarna adalah tokoh yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi, hal ini nampak jelas ketika Kumbakarna rela gugur dalam peperangan demi tanah kelahirannya yaitu Alengka yang sudah membesarkan jiwa raganya dan bukan membela Rahwana. Kisah ini mampu memberikan inspirasi bagi kita bahwa walaupun Kumbakarna berwujud raseksa, namun tindakan serta perilaku yang dimiliki oleh Kumbakarna adalah layaknya seorang satria tama. Artinya, kita jangan selalu menilai orang hanya dari luarnya saja melainkan lihatlah dari dalam hatinya yang sesungguhnya itu adalah aslinya.
Tokoh Suryaputra atau Basukarna dalam Serat Tripama tersebut dan setelah dilakukan pembahasan, tokoh Basukarna adalah tokoh yang memiliki karakter pemberani serta bertanggungjawab terhadap semua yang telah diucapkan. Artinya, Basukarna sudah mengatakan bahwa dia tetap akan membela Kurawa karena Basukarna mampu hidup menjadi seorang yang berharga semua juga berkat dari Kurawa yang menerima Karna apa adanya. Disamping itu, Basukarna juga merasa bahwa dia hidup di Negara Ngastina sehingga nasionalisme dalam dirinya juga muncul untuk ikut membela Ngastina dari ancaman mungsuh meskipun itu Pandawa. Tekad bulat yang dimiliki Karna untuk berbalas budi kepada Duryudana inilah yang juga merupakan perilaku bijaksana yang juga patut untuk dijadikan tauladan.
Ketiga tokoh tersebut apabila dikolerasikan dengan pendidikan karakter bagi mahasiswa tentunya dapat terjalin relevansi yang cukup bermanfaat apabila benar-benar mau meresapi, memahami dan melaksanakannya. Seorang mahasiswa seyogyanya mampu menjadikan karakter-karakter yang dimiliki tokoh Tripama sebagai perspektif atau pandangannya dalam memperbaiki karakter masing-masing individu yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sosial. Sebagai seorang mahasiswa atau generasi muda yang nantinya memimpin banggsa ini, karakter yang dimiliki oleh tokoh Tripama merupakan sebuah pandangan penting yang wajib untuk diketahui dan lebih baiknya mampu melaksanakannya. Tentu pelaksanaannya juga sesuai dengan kompetensi serta bidang masing-masing, penulis yakin dari nilai-nilai yang terkandung dalam karakter tokoh Tripama tersebut selalu bisa untuk diaplikasikan kepada bidang maupun kompetensi apapun, yang membedakan hanya terletak dari wujud serta tindakan yang harus dilakukan, namun secara konsep nilai yang mulia sementara ini masih sangat relevan untuk dilakukan terlebih dijaman sekarang ini.



 

DAFTAR PUSTAKA

Laeyendecker, L. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan. Jakarta: Gramedia, 1983.
Murtiyoso, Sumanto, Suyanto dan Kuwato. Teori Pedalangan, Surakarta: CV. Saka Production kerja sama dengan ISI Surakarta, 2007.
Soetaro, Sunardi dan Sudarsono. Estetika Pedalangan, Surakarta: CV. Adji Surakarta bekerjasama dengan ISI Press, 2007.