ASAL-USUL MITOS TOKOH SEMAR
Oleh: Catur Nugroho
PENGANTAR
A.
Latar Belakang Masalah
Pertunjukan
wayang kulit merupakan salah satu jenis kesenian yang cukup populer dan
disenangi oleh sebagian masyarakat Jawa, khususnya di wilayah Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Pertunjukan wayang kulit diperkirakan sudah ada cukup lama, yaitu
sejak abad ke-11 Masehi zaman Airlangga sebagaimana tercantum dalam Kakawin
Arjuna Wiwaha pada bait 59 (Soetarno, 2011:3-4). Pertunjukan wayang kulit
selalu dijadikan frame of reference oleh
masyarakat dari masa ke masa (Murtiyoso, 1998:1-2). Epos Mahabharata dan
Ramayana sebagai sumber pokok cerita pertunjukan wayang kulit purwa telah
mengalami penyesuaian terhadap local
genius. Aneka nilai (values) yang
tidak sesuai dengan pola budaya Jawa juga mengalami perubahan pada arah nalar
berpikir Jawa. Hal demikian, salah satunya dapat dilihat dari munculnya
tokoh-tokoh baru yang tidak terdapat dari cerita aslinya. Hadirnya tokoh punakawan adalah implementasinya.
Punakawan dalam
hal ini difokuskan terhadap punakawan para
Pandawa dari kisah Mahabharata, karena banyak punakawan lainnya yang terdapat dalam berbagai versi cerita. Punakawan Pandawa terdiri dari Semar,
Gareng, Petruk, dan Bagong. Mereka adalah pelayan bagi tuannya (baca: Pandawa).
Tokoh Semar adalah salah satu dari keempat punakawan
tersebut yang memiliki banyak keistimewaan. Alasan inilah yang membuat
tokoh Semar menjadi fokus kajian dalam tulisan ini. Kedudukkan Semar dapat
dikatakan sangat berbeda dengan ketiga punakawan
lainnya (Gareng, Petruk, dan Bagong) meskipun mereka sama-sama pembantu. Menurut
Sumukti, Semar selalu hadir membawa solusi terhadap gara-gara (permasalahan) yang menimpa tuannya (2005:4). Dalam
beberapa lakon Semar justru
diperlakukan dengan sangat hormat, misalnya lakon
Semar Mbangun Kahyangan, Lakon Semar Kuning, dan masih banyak lagi. Padahal secara umum dipahami bahwa
kedudukkan pembantu sering kali tidak dihormati.
Pentingnya
tokoh Semar bagi masyarakat Jawa tidak dapat dipisahkan dari vitalitas dan
kapabilitas perannya dalam berbagai lakon
wayang. Berdasarkan beberapa peristiwa
tersebut peran Semar tampaknya menimbulkan kesan kontradiksi dan infersi. Semar
yang biasanya hanya sebagai abdi (bawahan)
kemudian hadir sebagai sosok yang begitu dimuliakan dan disegani oleh tuannya.
Sumukti berpendapat bahwa tokoh Semar merupakan kebijaksanaan dalam pengertian
daya pikiran manusia paling terkonsentrasi (2005:1). Hal ini tidak dapat
dipungkiri bahwa Semar adalah pengejawantahan dewa Ismaya. Keistimewaan tokoh
Semar inilah yang membuatnya mendapat ruang khusus bagi kehidupan sebagian
masyarakat Jawa. Dia hadir baik secara lahir maupun batin. Secara lahir dapat
dilihat bahwa tokoh Semar sering menghiasi rumah, baik dalam bentuk gambar,
lukisan, kaligrafi, maupun patung, dan masih banyak lagi. Dalam hal religius,
tokoh Semar juga hadir bagi aliran kepercayaan Sapta Dharma yang menjadikan Semar sebagai ideologi.
Berangkat dari beberapa fenomena
tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai siapa sebenarnya tokoh Semar dan
bagaimana asal-usul tokoh tersebut. Sebelum lebih jauh membahas tentang
asal-usul tokoh Semar, maka perlu dipahami terlebih dahulu bahwa tokoh Semar
dalam hal ini diasumsikan sebagai sebuah mitos. Hal ini menjadi penting karena
berkaitan dengan metode serta pemaparan analisis dalam tulisan ini. Adapun
penjelasan terkait asumsi tentang tokoh Semar sebagai sebuah mitos tersebut
akan dijelaskan dalam sub bagian pembahasan. Oleh karena itu, penjelasan
tentang asal-usul tokoh Semar tidak semata-mata dijelaskan secara diakronis,
tetapi juga sinkronis, mengingat minimnya data tentang kapan dan di mana tokoh
Semar muncul. Di samping itu, analisis historis tentang tokoh Semar ini nanti
juga akan dikaitkan dengan relief-relief pada beberapa bangunan candi. Hal ini
dilakukan sebagai upaya untuk melihat transformasi-transformasi baik esensi
maupun eksistensi dari tokoh Semar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan tersebut agar
pembahasan lebih terarah, maka dirumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana
asal-usul tokoh Semar dalam cerita pewayangan?
2. Bagaimana
asal-usul mitos tokoh Semar dalam kehidupan masyarakat?
3. Bagaimana
perkembangan eksistensi dan esensi tokoh Semar dalam kehidupan masyarakat Jawa?
PEMBAHASAN
A. Tokoh
Semar Sebagai Mitos
Penjelasan
tentang asal-usul tokoh Semar baik dalam cerita wayang maupun dalam kehidupan
masyarakat Jawa sangat perlu dipaparkan terlebih dahulu mengenai asumsi tokoh
Semar sebagai sebuah mitos. Dalam hal ini penulis mengacu pada pandangan
Levi-Strauss, bahwa mitos tidak harus dipertentangkan dengan sejarah atau
kenyataan, karena perbedaan makna dari dua konsep tersebut semakin sulit
dipertahankan dewasa ini. Apa yang dianggap oleh suatu masyarakat sebagai
sebuah sejarah atau peristiwa yang benar terjadi, ternyata hanya dianggap
sebagai dongeng yang tidak harus diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang
lain. Oleh karena itu, mitos sama dengan dongeng. Dongeng adalah sebuah cerita
yang lahir dari imajinasi dan khayalan manusia, meskipun khayalan tersebut bersumber
dari kehidupan masyarakat sehari-hari (Ahimsa, 2013:77).
Berangkat
dari pemikiran tersebut maka tokoh Semar dapat diasumsikan sebagai sebuah mitos
atau dongeng. Asumsi ini paling tidak didasarkan atas dua hal sebagaimana
disampaikan oleh Ahimsa atas dongeng Umar Kayam yang coba penulis simpulkan,
yaitu: (1) dongeng muncul sebagai realisasi dari sebuah upaya untuk memahami
peristiwa dahsyat yang sulit untuk dihadapi; dan (2) dongeng lahir dari
imajinasi dan interpretasi individu
pemilik mitos tersebut (Ahimsa, 2013:260).
Implikasi
dari pendapat tersebut, pertama, bahwa tokoh Semar adalah realisasi dari nalar
pikir masyarakat kecil yang selalu berupaya memahami peristiwa yang rumit dalam
kehidupannya. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa tokoh Semar oleh sebagian
masyarakat Jawa adalah representasi dari wong
cilik. Wong cilik (rakyat kecil) ini beberapa beranggapan bahwa mereka
merasa tertindas oleh kepentingan kekuasaan. Oleh karena itu, muncul lakon-lakon wayang yang
merepresentasikan suara rakyat kecil yang diwujudkan pada tokoh Semar,
misalnya, Lakon Semar Mbabar Jatidiri,
Lakon Semar Mbangun Gedhong Kencana, dan sebagainya. Kedua, tokoh Semar
lahir dari budaya asli mitologi nusantara[1]
(Mulyono, 1982:115). Artinya, tokoh Semar merupakan imajinasi dan interpretasi
individu masyarakat Nusantara. Menurut Ahimsa, walaupun kita tidak tahu
bagaimana sebuah mitos lahir di tengah masyarakat, namun kita tidak dapat
mengingkari fakta bahwa mitos lahir melalui individu-individu tertentu. Mitos
tidak begitu saja muncul dari langit. Pencipta mitos tetaplah manusia (“Si
Pendongeng”) yang juga melibatkan dirinya dalam kehidupan masyarakatnya
(Ahimsa, 2013:260).
B.
Asal-usul Tokoh Semar Dalam Cerita Pewayangan
Pembahasan
mengenai asal-asul tokoh Semar penulis membagi menjadi dua bagian, pertama,
asal-usulnya dalam cerita atau lakon wayang;
kedua, asal-usulnya dalam kebudayaan masyarakat yang akan dijelaskan pada
bagian berikutnya. Pembagian ini bertujuan agar tidak terjadi tumpang-tindih
dalam memahami asal-usul Semar. Dalam hal ini dipaparkan terlebih dahulu
mengenai asal-usul tokoh Semar, setelah itu ditampilkan cerita turunnya Semar
ke dunia dalam lakon pertunjukan
wayang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
Sang Hyang Wenang memiliki putra yaitu
Sang Hyang Tunggal yang memiliki istri Dewi Rekatawati. Pada suatu hari
Rekatawati melahirkan sebutir telur. Di hadapan Sang Hyang Wenang telur
tersebut menetas dengan sendirinya dan menjadi tiga makhluk. Ketiga makhluk
tersebut adalah Tejamantri yang muncul dari kulit telur, kemudian Ismaya yang
berasal dari putih telur, dan Manikmaya terjadi dari kuning telur. Suatu ketika
terjadi perdebatan antara Tejamantri, Ismaya, dan Manikmaya, mereka berebut
posisi yang kelak menggantikan ayahnya sebagai penguasa. Manikmaya kemudian menantang
perlombaan, yaitu menelan gunung dan memuntahkannya kembali. Tejamantri sebagai
yang tertua melakukannya dulu tetapi gagal[2].
Berikutnya Ismaya yang melakukannya dan berhasil menelannya tetapi tidak dapat
memuntahkannya sehingga perutnya menjadi besar. Peristiwa ini menimbulkan gara-gara sehingga Sang Hyang Wenang
datang. Pada akhirnya, Sang Hyang Wenang menetapkan bahwa pada waktunya nanti Manikmaya
akan menjadi raja paradewa, penguasa surga dan neraka, dan menurunkan penduduk
di bumi. Adapun Semar dan Tejamantri harus turun ke bumi untuk memelihara
keturunan Manikmaya. Keduanya hanya diperbolehkan mengahadap Sang Hyang Wenang
apabila Manikmaya bertindak tidak adil. Sejak itu Sang Hyang Wenang mengganti
nama mereka, Manikmaya menjadi Batara Guru, Tejamantri menjadi Togog, dan
Ismaya menjadi Semar (Sumukti, 2005:20-21; Mulyono, 1982:53-55).
Kisah tersebut kemudian berlanjut dengan
turunnya tokoh Semar di dunia. Semar turun di bumi terjadi pada zaman Resi
Kanumayasa seorang pendeta di Saptaarga. Suatu ketika, ada orang cebol bernama
Samarasanta (Semar) lari di tengah-tengah hutan karena dikejar dua ekor macan. Pelariannya
hingga sampai di wilayah Saptaarga. Kanumayasa yang melihat penderitaan
Samarasanta kemudian menolongnya dengan meruwat macan tersebut. Setalah
diruwat, macan tersebut berubah menjadi dua bidadari yang cantik jelita, yang
tua bernama Dewi Kanastren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Akhirnya Dewi
Kanastren menjadi jodoh Semar. Adapun Dewi Retnawati menjadi jodoh Kanumayasa.
Semenjak peristiwa tersebut Samarasanta kemudian mengabdi (nyantrik) pada sang resi (Purwadi, 2007:258).
Berdasarkan paparan tersebut kemudian
oleh para dalang digarap sedemikian rupa menjadi sebuah lakon wayang. Lakon-lakon tentang
asal-usul dan turunnya Semar ini kemudian menjadi berbagai versi nama, misalnya
Lakon Laire Semar, Lakon Tumuruning
Janggan Samarasanta, Lakon Semar Ngejawantah, dan masih banyak lagi. Meskipun
muncul berbagai versi nama tentang asal-usul Semar, tetapi inti cerita dan isi
yang disampaikan mayoritas sama, tidak banyak terjadi perubahan. Seandainya
terjadi perubahan biasanya hanya sebatas pembagian struktur adegan saja,
mengingat dalang memiliki kebebasan penuh untuk mengekspresikan daya
kreativitasnya.
C.
Asal-usul Mitos Tokoh Semar Dalam Kehidupan Masyarakat
Strategi
atau metode yang digunakan untuk mengetahui asal-usul mitos tokoh Semar dalam
kehidupan Masyarakat dapat ditelusuri dan dikaji melalui tiga sumber data, yaitu: (1) data
kesusasteraan; (2) data relief; dan (3) data lisan (oral). Melalui langkah-langkah tersebut diharapkan dapat membantu
menyusun konstruksi diakronis yang cukup baik mengenai asal-usul mitos tokoh
Semar.
1.
Semar dalam kesusasteraan.
Semar dalam Kitab Sudamala.
Menurut Van Stein Callenfels dalam disertasinya sebagaimana dikutip oleh
Mulyono, bahwa Kitab Sudamala dengan
tegas telah menyebut nama Semar. Hal ini dapat dilihat pada penggalan bait
ke-39 dari kitab tersebut.
“PunSmar hamuwus
mangke, hatarimengsun kakang matur ring sang mahadibya mangko, haglis ni Putut
matura, ring sang maharesi mangke”.
Artinya:
“Kata-kata dari
Putut berbunyi” Inilah Semar yang
terhormat, yang diberikan oleh sang pertapa yang baik kepada anda. Sampaikanlah
penghormatanku, terimakasihku kepada sang pertapa” (Mulyono, 1982:15-19).
Berdasarkan kutipan tersebut bahwa tokoh
Semar paling tidak telah ada sejak zaman Majapahit, yaitu abad ke-XV
sebagaimana Kitab Sudamala tersebut
ditulis. Namun demikian, perlu dikritisi lagi bahwa masih terdapat sumber lain
yang tampaknya lebih tua dari Kitab
Sudamala yang juga menampilkan nama tokoh Semar, yaitu Kitab Gatutkacasraya.
Semar
dalam Kitab Gatutkacasraya.
Kitab Gatutkacasraya merupakan karya
empu Panuluh pada tahun 1110 Jawa atau 1188 Masehi. Kitab tersebut juga
menampilkan nama “Jurudyah Prasanta
Punta” (Mulyono, 1982:21). Nama ‘Jurudyah Prasanta’ ini masih sering
dipakai oleh para dalang ketika mendeskripsikan dasanama[3]
tokoh Semar.
Berdasarkan penjelasan tersebut
menunjukkan bahwa mitos tokoh Semar telah ada sejak dulu, yaitu sekitar abad
ke-XI. Dalam hal ini perlu disampaikan pula bahwa menurut Hazeu sebagaimana
dikutip oleh Mulyono, tokoh Semar adalah asli berasal dari Indonesia. Dia tidak
berasal dari India, dan Semar sama sekali tidak merepresentasikan peranan
India. Terlebih perannya yang sekarang, di mana dia hadir bersama
nasehat-nasehatnya sebagai sosok pembantu yang dihormati oleh tuannya para
Pandawa (1982:25-26).
2. Semar dalam relief.
Mitos tentang asal-usul tokoh Semar juga
dapat dilacak dengan mengamati beberapa relief pada bangunan candi. Berdasarkan
pengamatan dapat dilihat bahwa terdapat relief tokoh abdi atau punakawan yang
mengikuti tuannya dalam bangunan candi Jago dan candi Tegowangi. Candi Jago
dibangun pada masa pemerintahan Kertanegara raja di Kerajaan Singosari.
Pembangunan candi diperkirakan berlangsung selama kurang lebih 12 tahun
(1268M-1280M). Candi Jago dibangun sebagai pendarmaan bagi Wisnuwardhana yang merupakan
ayah dari Kertanegara. Relief yang terpahat dalam dinding bangunan candi Jago
adalah cerita Tantri Kamandaka, Kunjarakarna,
Anglingdharma, Parthayajna
dan
Arjuna Wiwaha (Ciptaning) (http://candi.pnri.go.id/jawa_timur/jago/jago.htm;
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Jago). Adapun relief punakawan terdapat pada bagian cerita Parthayajna (Pandawa Dadu). Di dalam
relief tersebut tergambar empat sosok abdi
di bawah yang di antaranya memiliki badan pendek dan gemuk. Sayangnya tidak
ada sumber yang menjelaskan secara pasti tentang deskripsi kedua tokoh abdi tersebut. Namun demikian, apabila
relief tersebut diperhatikan secara seksama dapat ditafsirkan bahwa keempat abdi tersebut adalah punakawan Pandawa. Tafsir ini
berdasarkan atas bentuk salah satu punakawan
tersebut yang memiliki hidung panjang, yaitu tokoh Petruk. Artinya, ketiga
tokoh lainnya adalah Semar, Gareng, dan Bagong. Oleh karena itu, dapat
dipastikan bahwa tokoh Semar sudah ada pada sekitar abad ke-XIII.
Adapun candi Tegowangi dibangun pada
akhir abad ke-XIV atas perintah raja Hayam Wuruk (http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Tegowangi).
Adanya relief tentang Sudamala mengindikasikan
bahwa tujuan dari dibangunnya candi tersebut adalah untuk upacara ruwatan. Di dalam relief Sudamala tergambar dua tokoh yang
tampaknya adalah seorang abdi. Salah
satunya memiliki badan gemuk dan pendek seperti halnya bentuk tokoh Semar. Apabila
merujuk pada isi Kitab Sudamala yang
menuliskan bahwa di dalamnya terdapat tokoh Semar, maka dapat ditafsirkan bahwa
relief abdi tersebut salah satunya
menggambarkan tokoh Semar. Dengan demikian, lagi-lagi tokoh Semar hadir pada
sekitar akhir abad ke-XIV pada masa raja Hayam Wuruk.
3. Semar dalam tradisi lisan (oral)
Data tentang asal-usul mitos tokoh Semar
juga dapat dilihat pada sumber data lisan. Meskipun jumlahnya tidak begitu
banyak dan kredibilitas data cukup minim, tetapi dalam hal ini tetap dipaparkan
sebagai referensi untuk melakukan reduksi dengan mengkomparasikannya terhadap
data-data lain. Sebagaimana dituliskan oleh Soetarno, bahwa kemunculan tokoh
Semar diuraikan dalam tradisi lisan yang telah tertulis dalam Serat
Centhini dan Serat Sastramiruda. Dijelaskan
bahwa tokoh wayang Semar dibuat zaman Mataram pada masa pemerintahan Panembahan
Senapati. Selain wayang Semar, juga dibuat wayang lainnya seperti Bagong,
Cenguris, Cantrik, keris, dan panah. Peristiwa ini tampaknya terjadi pada
sekitar abad ke-XVI. Hal ini didasarkan atas penanda yang dibuat dalam serat
tersebut, yaitu tahun 1541 (Soetarno, 2007:15). Berdasarkan sumber ini dapat
ditafsirkan bahwa tokoh Semar muncul dalam kehidupan masyarakat yang
direalisasikan dalam bentuk wayang kulit.
Sebelum menganalisis perkembangan
eksistensi dan esensi tokoh Semar dalam kehidupan masyarakat dipaparkan
terlebih dahulu mengenai kehadiran tokoh Semar dalam dunia batin orang Jawa.
Keistimewaan karakter tokoh Semar ternyata mendapat ruang khusus dalam sistem
religius bagi sebagian masyarakat Jawa, khususnya aliran kepercayaan ‘Sapta
Dharma’. Menurut Hadiwijono
sebagaimana dikutip oleh Mulyono bahwa di Jawa terdapat suatu aliran kebatinan
yang menggunakan simbol tokoh Semar yakni aliran Sapta Dharma. Simbol tersebut
berupa:
a.
Belah ketupat
yang menggambarkan asal manusia. Sudut atas menggambarkan ‘sinar cahaya Allah’, sudut bawah menggambarkan ‘sari bumi’, sedangkan sudut kanan, dan sudut kiri
menggambarkan ‘perantaraan terjadinya manusia’.
b.
Garis tepi belah
ketupat menggambarkan badan manusia.
c.
Dasar belah
ketupat berwarna hijau muda yaitu penggambaran hawa atau getaran.
d.
Di dalam belah
ketupat terdapat segitiga sama sisi yang terbagi ke dalam tiga segi sama sisi
dan empat lingkaran sepusat berwarna putih yang menggambarkan terjadinya
manusia dari tritunggal (bapa:sperma,
ibu:telur, dan sinar cahaya Allah).
e.
Segitiga-segitiga
tersebut memiliki sembilan sudut yang artinya penggambaran sembilan lubang
manusia.
f.
Empat lingkaran
sepusat masing-masing berwarna hitam, merah, kuning, dan putih yang
menggambarkan empat hawa nafsu manusia, yaitu amarah, supiyah, aluwamah, dan mutmainah.
g.
Gambar Semar
terdapat pada lingkaran pusat berwarna putih yaitu menggambarkan lubang
kesepuluh manusia yang terletak di ubun-ubun.
h.
Gambar Semar
memiliki arti budi luhur. Tangan kiri
Semar memegang sesuatu yang artinya memiliki rasa yang mulia dan memiliki sabda yang kuasa. Kampuh lipatan lima yang dikenakan oleh Semar menggambarkan bahwa
ia menjalankan Panca Sila Allah.
i.
Tulisan Sapta
Dharma tertera di dalam belah ketupat yang berarti tujuh kewajiban. Selain itu,
juga tertulis napsu, budi, dan pakarti yang menggambarkan kepribadian
manusia (Mulyono, 1982:35-37).
‘Wahyu Sapta Dharma’ diterima
oleh Hardjosapuro pada Jumat tanggal 27 Desember pukul satu malam di Desa Pare,
Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Berangkat dari fenomena ini dapat ditafsirkan
bahwa Semar hadir dalam sistem kepercayaan sebagian orang Jawa, yaitu aliran
Sapta Dharma. Salah satu hal yang dapat diambil dari
peristiwa ini, yaitu mereka percaya bahwa Semar ‘ada’ atau ‘nyata’. Terlepas
dari apakah benar atau tidak, tetapi yang jelas Semar telah menimbulkan sugesti
hingga orang Jawa begitu panatik terhadapnya, dan inilah faktanya.
D. Perkembangan Eksistensi dan Esensi Tokoh
Semar Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa
Perkembangan eksistensi dalam hal ini
adalah penjelasan tentang ‘keberadaan’ tokoh Semar di dalam kehidupan
masyarakat berdasarkan pemaparan-pemaparan data sebelumnya. Hal ini berpijak
pada angka tahun dan angka abad. Asumsi sederhananya, bahwa ketika suatu benda
(data arkeologi) menampilkan representasi tentang tokoh punakawan dan/atau tokoh Semar berarti pada tahun itu pula
keberadaan Semar telah ada.
Berdasarkan sumber data baik
kesusasteraan, relief, maupun lisan dapat ditarik sebuah diacronic historical description, bahwa Semar telah ada sejak abad
ke-XI sebagaimana terdapat dalam Kitab
Gatutkacasraya. Selantunya keberadaan tokoh Semar terdapat di relief candi
Jago dalam cerita Parthayajna pada
abad ke-XIII. Keberadaannya juga tampil pada relief candi Tegawangi dalam
cerita Sudamala pada abad ke-XIV. Tokoh
Semar juga terdapat dalam Kitab Sudamala pada
abad ke-XV. Sekitar abad ke-XVI pada masa pemerintahan Panembahan Senapati di
Mataram lahir tokoh wayang Semar. Setelah tahun-tahun tersebut keberadaan mitos
tokoh Semar masih ada hingga sekarang. Implikisasi dapat dilihat dari hadirnya
dalam aliran Sapta Dharma, tampilnya dalam pertunjukan lakon wayang, muncul dalam berbagai ornamen. Artinya keberadaan
tokoh Semar masih bertahan hingga saat ini.
Adapun
mengenai perkembangan esensi tokoh Semar menunjukkan perubahan atau pergeseran
peran. Apabila diamati awalnya peran Semar tidak lebih dari sosok abdi atau pembantu. Meskipun dalam
berbagai sumber tidak menyatakan secara pasti peran Semar, tetapi di situ juga
tidak menyebutkan bahwa tokoh Semar hadir dengan nasehat-nasehatnya. Artinya,
dapat ditafsirkan bahwa punakawan Semar
hanya seperti atau bahkan sama dengan kedudukkan abdi. Namun demikian, tafsir ini bisa kurang tepat apabila kemudian
ditemukan data lain yang menyebutkan secara pasti bahwa sejak awal peran tokoh
Semar memang lebih dari sekedar abdi. Selanjutnya,
apabila dilihat perkembangannya hingga saat ini peran Semar telah mengalami
perubahan. Semar hadir sebagai lambang kebijaksanaan baik dalam cerita wayang
maupun kehidupan masyarakat Jawa. Kehadirannya membawa kedamaian bagi yang
mendengarkannya. Secara implisit dapat kita lihat dalam aliran Sapta Dharma,
ornamen-ornamen, lakon-lakon wayang
tentang Semar di mana esensi Semar adalah sugesti yang mengarahkan terhadap
keserdahanaan yang penuh dengan kebijaksanaan sebagai sebuah panutan hidup.
PENUTUP
Kesimpulan
Berbagai
penjelasan tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, tokoh Semar
adalah sebuah mitos yang lahir dari imajinasi nenek moyang Indonesia sebagai
pemilik dongeng tersebut. Kedua, dalam cerita wayang tokoh Semar lahir dari
sebutir telur yang dilahirkan oleh Dewi Rekatawati istri Sang Hyang Tunggal.
Tokoh Semar kemudian ditugaskan ke dunia untuk mengasuh para kesatriya.
Turunnya tokoh Semar di dunia terjadi pada zaman resi Kanumayasa di Saptaarga. Ketiga,
berdasarkan data kesusasteraan, relief, dan lisan menunjukkan bahwa keberadaan
mitos Semar sudah ada sejak abad ke-XI dan tetap eksis hingga sekarang. Oleh
karena itu, periodesasi penjelasan sejarah mitos Semar ini dimulai dari abad
ke-XI hingga sekarang. Keempat, esensi tokoh Semar juga menunjukkan perubahan.
Awalnya semar tampak hanya seperti abdi atau
punakawan, tetapi sekarang Semar lebih
dari sekedar abdi, dia adalah lambang
kebijaksanaan yang menuntun pada kesederhanaan hidup.
Berdasarkan
kesimpulan tersebut penulis masih menyadari bahwa analisis di sini masih jauh
dari sempurna. Minimnya data serta tersebarnya data yang saling tumpang-tindih
menimbulkan kesulitan bagi penulis dalam mengklasivikasi serta
menginventarisasikannya. Penulis berharap pembahasan tentang asal-usul mitos
Semar ini masih bisa diperbaiki dan dilanjutkan oleh siapapun.
DAFTAR ACUAN
Kepustakaan
Ahimsa-Putra,
Heddy Shri. Strukturalisme Levi-Strauss,
Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press, 2013.
Mulyono,
Sri. Apa dan Siapa Semar. Jakarta:
Gunung Agung, 1982.
Murtiyoso,
Bambang. “Mengenal Karya Baru Wayang Layar Lebar Sandosa”, Gatra, No. XVIII. Jakarta: Senawangi, 1998.
Purwadi.
Seni Pedhalangan Wayang Purwa. Yogyakarta:
Panji Pustaka, 2007.
Soetarno,
Sarwanto, dan Sudarko. Sejarah
Pedalangan. Surakarta: ISI Press, 2007.
Soetarno. Teater Nusantara. Surakarta: ISI Press,
2011.
Sumukti,
Tuti. Semar Dunia Batin Orang Jawa. Yogyakarta:
Galangpress, 2005.
Internet
“Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia: Candi di Indonesia; Candi Jago” dalam http://candi.pnri.go.id/jawa_timur/jago/jago.htm. Diunduh pada tanggal 21 Januari
2014.
“Wikipedia:
Candi Jago” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Jago.htm. Diunduh pada tanggal
21 Januari 2014.
“Wikipedia:
Candi Tegowangi” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Tegowangi.htm. Diunduh pada tanggal
31 Juni 2014.